Hendardi Keberatan TNI Dijadikan Aktor Berantas Terorisme


[tajuk-indonesia.com]          -          Potensi ancaman terorisme semakin menguat pasca kekalahan ISIS di beberapa wilayah Suriah dan Irak. Aksi-aksi terorisme belakangan ini juga diidentifikasi sebagai jaringan ISIS yang di dalam negeri menggunakan label Jamaah Anshoru Daulah (JAD).

Begitu pandangan Ketua Setara Institute, Hendardi, Senin (29/5).

Nah, bom bunuh diri di Kampung Melayu menurut dia, adalah salah satu dari aksi jaringan JAD yang tidak terdeteksi dari sekian banyak potensi terorisme yang berhasil dicegah oleh Kepolisian dengan pendekatan penegakan hukum. 

Oleh karena itu, menurut Hendardi, pemerintah dan DPR harus segera mempercepat revisi UU Anti-Terorisme. 

Namun, dia mengingatkan, percepatan pengesahan RUU itu tidak boleh mengubah pendekatan pemberantasan terorisme dari sistem peradilan pidana menjadi non hukum. Sebab, terorisme adalah transnational crime (kejahatan lintas negara) dan hanya bisa diberantas dengan pendekatan hukum dengan kewenangan preventif yang lebih luas jangkauannya. 
"Karena itu, gagasan memasukkan TNI sebagai aktor dalam pemberantasan terorisme dipastikan akan keluar dari mekanisme sistem peradilan pidana terpadu," ujarnya.

Apalagi TNI bukan aparat penegak hukum yang bertugas memberantas kejahatan, termasuk terorisme. Jikapun TNI dilibatkan tetap dalam skema perbantuan sebagai tugas operasi militer selain perang, yang mekanismenya diatur dalam UU Perbantuan Militer, yang seharusnya sudah sejak lama dibentuk karena merupakan mandat dari UU TNI.

Pada sisi lain menurut dia, pelibatan TNI sebagai penegak hukum, akan melemahkan akuntabilitas pemberantasan terorisme karena tidak adanya kontrol sistemik yang melekat dalam sistem peradilan pidana terpadu bagi TNI. 

"Bagaimana mungkin mandat reformasi yang menuntut TNI profesional sebagai aparat pertahanan dan telah berjalan selama hampir 19 tahun, kemudian diupayakan untuk kembali menjadi bagian dari penegakan hukum pidana terorisme?" kritik Hendardi. 

Hendardi menegaskan, usulan legislator Senayan membahayakan akuntabilitas sistem peradilan pidana dan berpotensi menggeser pendekatan hukum menjadi pendekatan militer dalam pemberantasan terorisme. 

Dampak perubahan pendekatan ini adalah pelanggaran HAM yang sulit dipertanggungjawabkan. Sebab, dalam pendekatan keamanan, jelas dia, due process of law cenderung diabaikan.[pm]








Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :