Fahri Hamzah: KPK tak perlu perlu jadi lembaga politik


[tajuk-indonesia.com]           -           Hak angket DPR untuk mendesak KPK membuka rekaman BAP tersangka keterangan palsu kasus e-KTP Miryam S Haryani resmi diputuskan dalam rapat paripurna hari ini. KPK tetap 'ngotot' tak ingin membuka rekaman pemeriksaan Miryam meski DPR menggunakan angket. Bahkan, KPK mengkritisi penyetujuan hak angket tersebut. 

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, KPK tidak memiliki wewenang untuk mempertanyakan keabsahan angket tersebut. Fahri menegaskan KPK tidak perlu menjelma menjadi lembaga politik dan lebih baik fokus pada tugas penegakan hukum. 

"Itu bukan tugas KPK. KPK enggak perlu mengembangkan diri menjadi lembaga politik ya. KPK tidak perlu menjadi lembaga politik fokus kalau mau jadi penegak hukum penegak hukum saja," kata Fahri di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (28/4).

"Kalau dia mengembangkan diri menjadi lembaga politik itu memunculkan di dalam itu ada faksi-faksi di dalam itu ada persengketaan itu enggak boleh itu," sambungnya. 
Lembaga antirasuah itu diminta patuh terhadap UU, terutama No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Dalam Pasal 20 ayat (1) UU KPK telah diatur bahwa KPK bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala pada Presiden RI, DPR, dan BPK. 

"Ya itu kan nanti saja ya kita lihatnya ya. Karena gini di Indonesia ini ada ribuan UU bukan satu UU ribuan UU. Semua UU itu berlaku dan harus kita taati. Dan saya kira kita harus mentaati semua UU yang berlaku," tegasnya. 

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tegas menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan politikus Partai Hanura Miryam S Haryani saat proses penyidikan. KPK juga mengkritisi penyetujuan hak angket di DPR mengenai hal tersebut.

Adanya sejumlah anggota fraksi di DPR yang menolak usulan hak angket pun menjadi pertimbangan KPK. "Terdapat penolakan dari sejumlah anggota DPR dan bahkan ada fraksi yang walk out. Apakah hal itu berkonsekuensi terhadap sah atau tidaknya keputusan hak angket tersebut akan kami pelajari terlebih dahulu," ujar Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, Jumat (28/4).

Laode juga menyinggung mengenai syarat Undang-Undang MD3 yang mengatur keputusan hak angket.

"Ada syarat di UU MD3, bahwa usul menjadi hak angket jika dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir," jelasnya.[pm]












Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :