Mengurai Sikap Demokrat Pada Putaran Final Pilkada Jakarta


[tajuk-indonesia.com]     

Oleh : Ferdinand Hutahaean

Putaran final Pilkada Jakarta telah bergulir dan memasuki fase politik yang semakin meningkat suhu politiknya. Diantara teori klasik pemenangan Pemilu yang dilakukan para calon Gubernur yang berlaga tampaknya ada fokus yang terganggu dari para kontestan termasuk para pendukung dan simpatisannya. Fokus yang terganggu itu adalah tentang sikap Partai Demokrat yang sampai hari ini banyak yang menyebut belum bersikap. Justru sesungguhnya Partai Demokrat sudah bersikap dengan belum atau tidak menyatakan mendukung salah satu pasangan calon yang berlaga. Bukankah tidak mendukung atau belum mendukung itu juga adalah sebuah sikap? Minimal sikap itu untuk sampai saat ini, dan kita tidak tahu apa kira-kira yang akan terjadi kedepan. Mungkin saja ada sikap baru, meski saya melihat bahwa Partai Demokrat tetap akan bersikap sama dengan sekarang, tidak melibatkan diri dalam konflik.

Pergeseran jiwa dan semangat Demokrasi yang bergeser dari idealisme ke pragmatisme, pergeseran Demokrasi yang tidak mengenal Agama dan Suku menjadi terlalu mengedepankan sentimen Primordialisme berbau SARA, praktek Demokrasi yang tidak lagi sehat dengan menghalalkan segala cara, serangan terlalu kasar bahkan brutal yang diterima SBY dan AHY serta Demokrat pada Pilkada putaran pertama dan tentu kalkulasi politik yang didapat Demokrat jika mendukung salah satu pasangan, tentu menjadi pertimbangan utama dari SBY dan Demokrat untuk menentukan dan memilih sikapnya seperti sekarang yaitu memilih berada diluar arena pertempuran pihak lain.
Pilkada Jakarta memang sarat dengan potensi konflik berbau SARA. Coba kita lihat semua media, termasuk media-media sosial yang digunakan masyarakat. Hampir setiap hari disibukkan tentang perdebatan, hujatan, caci maki dan konflik sosial berbau SARA. Pribumi non Pribumi, Islam dan kafir, itulah topik yang mendominasi konflik ditengah masyarakat saat ini yang tercermin dari perkembangan informasi di semua lini media. Dan hal ini saya yakini membuat SBY mengambil sikap tidak melibatkan Demokrat dalam konflik tersebut, karena pada dasarnya SBY adalah sosok yang anti dengan isu SARA dan mencintai kebinekaan. Ini yang harus dipahami oleh setiap orang. DKI Jakarta saat ini berada di tepi jurang konflik sosial berbau SARA.

Lantas mengapa ada pihak yang tidak menghormati sikap SBY dan DEMOKRAT tersebut? SBY dan Demokrat saya yakini juga pasti menyadari bahwa sikap tersebut akan melahirkan pro kontra dan perbedaan pendapat ditengah publik bahkan di internal sendiri. Mungkin ada yang jengkel atau ada yang menilai sikap itu sebuah sikap tidak jantan. Semua penilaian itu menjadi lumrah sebagai bagian dari Demokrasi. Namun sesungguhnya SBY, Demokrat dan AHY telah menunjukkan sikap jantan dan ksatria dengan menyatakan menerima kekalahan AHY, meski Demokrat punya setumpuk bukti dan fakta bahwa Pilkada DKI sangat curang dan bisa digugat ke MK.

Pasangan Anis Sandi serta pasangan Ahok Djarot sebaiknya menghindari gagal fokus pemenangan. Jangan menjadikan dukungan Demokrat sebagai penentu kemenangan. Bukankah dari awal Anis Sandi dan Ahok Djarot ikut Pilkada dan berhasil masuk putaran kedua tanpa dukungan Demokrat? Lantas alasan apa yang harus memaksa kondisi agar Demokrat mendukung salah satu paslon? Dan kepada para pendukung serta simpatisan Anis Sandi maupun Ahok Djarot tidak perlu menjadikan sikap Demokrat tersebut menjadi olok-olok. Fokuslah pada memenangkan calon, bukan fokus pada meraih dukungan Partai karena yang harus diambil dan diraih adalah dukungan rakyat. Sekali lagi bukan dukungan parpol yang menentukan tapi dukungan rakyatlah penentunya. Sehingga semua bisa fokus pada meraih suara rakyat bukan fokus meraih partai.

Kembali kepada sikap Demokrat, bahwa sikap tersebut adalah berbasis pada alasan-alasan rasional yang dipikirkan SBY, DEMOKRAT dan AHY. Akhirnya kembali kepada otoritas diri masing-masing, bahwa siapapun tidak berhak memaksakan siapapun untuk memilih siapapun. Itulah nilai Demokrasi bahwa Demokrasi adalah hak azasi tunggal yang tidak boleh dipaksakan oleh orang lain. Rakyat tentu punya sikap sendiri tanpa harus menunggu perintah dari partai. Demokrat sedang memberikan pendidikan demokrasi dengan menghormati koalisi partai pengusung dan menghormati hak suara rakyat yang harus bebas dari paksaan. Demokrat sedang menunjukkan sebuah sikap ksatria bahwa kekalahan sudah diterima dan saatnya Demokrat menyaksikan laga final dan tidak ikut lagi sebagai peserta.

Selamat berjuang Anis Sandi dan Ahok Djarot, silahkan memenangkan hati rakyat tanpa menjadikan sikap Partai Demokrat sebagai penentu, biarkan Demokrat dengan sikapnya karena itu adalah hak Demokrasi. [repelita]



















Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :