Korupsi e-KTP Memalukan Bangsa


[tajuk-indonesia.com]        -        Perkara korupsi pengadaan proyek e-KTP memalukan bangsa dan negara sebab melibatkan sejumlah petinggi partai politik dan pejabat negara, karenanya kasus ini harus diungkapkan sampai tuntas, kata Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra.

Dalam keterangannya hari ini, Yusril mengatakan KPK tidak perlu gentar mengusut keterlibatan sejumlah pejabat termasuk partai-partai politik.

"UU Tipikor memberi kewenangan kepada aparat penegak hukum temasuk KPK untuk menyidik kejahatan korporasi. Termasuk kategori korporasi adalah parpol, yang jika terlibat dalam kejahatan, maka pimpinannya dapat dituntut, diadili dan dihukum," kata Yusril.

Dalam sidang perkara e-KTP dengan terdakwa pejabat kemendagri, Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor, jaksa KPK Irene Putri membacakan dakwaan yang berisi tentang sejumlah
nama-nama pejabat diduga menerima aliran dana korupsi e-KTP, seperti Setya Novanto, olly Dondokambe, Agun Gunanjar Sudarsa, Ganjar Pranowo, Teguh Juwarno, Tamsil Linrung, Jafar Hafsah, Anas Urbaningrum, Muhammad Nazaruddin.
Terdakwa Irman, bahkan menyebutkan beberapa partai politik, turut menikmati uang suap proyek e-KTP yang diduga merugikan negara sekitar Rp 2,3 triliun dari nilai proyek sebesar Rp 5,9 triliun itu.

Menurut Yusril, karena parpol merupakan instrumen politik yang sangat penting di negara ini, maka adanya parpol yang bersih, berwibawa dan bebas KKN seperti yang digagas diawal reformasi adalah suatu  keniscayaan. Tanpa itu, negara ini akan tenggelam dalam kesuraman. Ekonomi akan runtuh, demokrasi akan terkubur dan integrasi bangsa akan menjadi pertaruhan.

"Di sinilah peran penting KPK sebagai badan anti korupsi. KPK bukan hanya harus membersikan penyelenggara negara dari korupsi tapi juga wajib menindak kejahatan korporasi, yang melibatkan partai dalam tindak pidana korupsi," kata Mantan Menteri Hukum dan HAM itu.

Dikatakan Yusril, meski parpol yang diduga menerima suap itu diproses hukum, partainya  tidak otomatis bubar, karena yang berwenang memutuskan parpol bubar atau tidak, bukanlah pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung dalam perkara pidana, tetapi Mahkamah Konstitusi. "Dalam perkara tersendiri yakni perkara pembubaran partai politik," tambah Yusril.

Mahkamah Konstitusi, berdasarkan Pasal 68 UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konsitusi, berwenang untuk memutus perkara pembubaran parpol. Parpol bisa dibubarkan jika asas dan ideologi serta kegiatan-kegiatan parpol itu bertentangan dengan UUD 1945.

Memang menjadi pertanyaan, apakah jika partai terlibat korupsi, parpol tersebut dapat dibubarkan MK dengan alasan prilakunya itu bertentangan dengan UUD 45.

"Kalau dilihat dari perspektif hukum  pidana, terkait kejahatan korporasi, maka jika korporasi tersebut terbukti melakukan kejahatan, maka yang dijatuhi pidana adalah pimpinannya. Maka pimpinannya yang dijatuhi hukuman," ujar dia. [rima]











Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :