Da’i Papua Nilai Hanya Karena Uang, 'Saksi Abal-abal' dari Ahok Katakan Al Quran tak Berlaku
[tajuk-indonesia.com] - Saksi ahli kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Kiai Ahmad Ishomuddin atau Gus Ishom, telah melakukan klarifikasi terkait kesaksiannya di persidangan Ahok, maupun soal gelar doktornya.
Namun, klarifikasi Gus Ishom yang bertajuk “Tabayun Setelah Sidang ke-15 Kasus Penodaan Agama”, ditanggapi pesimis banyak pihak.
Direktur Centre for Strategic and Policy Studies (CSPS) Prijanto Rabbani di akun Twitter @PrijantoRabbani. “Maaf, nampaknya integritasnya sudah diragukan publik...,”
tulis @PrijantoRabbani meretwit berita berjudul “Dituding Lakukan
Pembohongan Publik, Begini Klarifikasi Lengkap Kiai Ishomuddin.”
Pernyataan keras juga dilontarkan da’I kondang asal Nuuwar, Irian Jaya, Ustadz Fadlan R Garamatan.
“Hanya karena uang dan polularitas dunia saksi abal-abal dari Ahok
mengkatan Al Quran tidak berlaku, akan bertanggung jawab kepada Allah,” tegas Fadlan di akun @fadlannuuwaar.
Berikut ini, pernyataan lengkap Kiai Ishomuddin:
“Beberapa waktu lalu saya diminta oleh penasihat hukum bapak BTP (Ahok)
untuk menjadi saksi ahli atas kasus penodaan agama yang didakwakan
kepadanya. Penasihat hukum dalam UU Advokat juga termasuk penegak hukum
di negara konstitusi Republik Indonesia, sebagaimana dewan hakim dan
para JPU (jaksa penuntut umum). Karena kesadaran hukumlah saya bersedia
hadir dan menjadi saksi ahli dalam sidang ke-15.
Saya menyadari betul dan sudah siap mental menghadapi risiko apa pun,
termasuk mempertaruhkan jabatan saya yang sejak dahulu saya tidak
pernah memintanya, yakni baik sebagai rais syuriah PBNU (periode
2010-2015 dan 2015-2020) maupun wakil ketua Komisi Fatwa MUI Pusat
(2015-2020), demi turut serta menegakkan keadilan itu.
Sebab, sepertinya umat Islam sudah lelah dan kehabisan energi karena
terlalu lama mempersengketakan kasus pak BTP (Ahok). Sebagian umat yakin
ia pasti bersalah dan sebagian lagi menyatakan belum tentu bersalah
menistakan QS al-Maidah ayat 51.
Oleh sebab itu, persengketaan dan perselisihan tersebut segera
diselesaikan di pengadilan, agar di negara hukum kita tidak memutuskan
hukum sendiri-sendiri. Saya hadir, sekali lagi saya nyatakan, di
persidangan karena diminta dan karena ingin turut serta terlibat untuk
menyelesaikan konflik seadil-adilnya di hadapan dewan hakim yang
terhormat.
Saya hadir di persidangan bukan atas nama PBNU, MUI, maupun IAIN Raden
Intan Lampung, melainkan sebagai pribadi. Tidak mewakili PBNU dan MUI
karena sudah ada yang mewakilinya. Saya bersedia menjadi saksi ahli
pada saat banyak orang yang diminta menjadi saksi ahli pihak pak BTP
berpikir-pikir ulang dan merasa takut ancaman demi menegakkan keadilan.
Dalam hal ini saya berupaya menolong para hakim agar tidak menjatuhkan
vonis kepadanya secara tidak adil (zalim), yakni menghukum orang yang
tidak bersalah dan membebaskan orang yang salah. Tentu karena saya juga
berharap agar seluruh rakyat Indonesia tenang dan tidak terus menerus
gaduh apa pun alasannya hingga vonis dewan hakim diberlakukan. Rakyat
harus menerima keputusan hakim agar tidak ada lagi anak bangsa ini main
hakim sendiri di negara hukum.
Saya hadir sebagai saksi ahli agama karena dinilai ahli oleh para
penasehat hukum terdakwa, dan di muka persidangan saya tidak mengaku
sebagai ahli tafsir, melainkan fiqih dan ushul al-fiqh. Suatu ilmu yang
sudah sejak lama saya tekuni dan saya ajarkan kepada para penuntut
ilmu.
Namun, itu bukan berarti saya buta dan tidak mengerti sama sekali dengan
kitab-kitab tafsir. Alhamdulillah, saya dianugerahi oleh Allah
kenikmatan besar untuk mampu membaca dan memahami dengan baik berbagai
referensi agama seperti kitab-kitab tafsir berbahasa Arab, bukan dari
buku-buku terjemahan. Semua itu adalah karena barakah dan sebab doa dari
orang tua dan para kiai saya di berbagai pondok pesantren.
Saat saya ditanya tentang pendidikan terakhir saya oleh ketua majelis
hakim, saya menjawab bahwa pendidikan formal terakhir saya adalah Strata
2 konsentrasi Syariah. Saya memang belum bergelar Doktor, meski saya
pernah kuliah hingga semester tiga di program S3 dan tinggal menyusun
disertasi, namun sengaja tidak saya selesaikan.
Jika ada yang menyebut saya doktor saya jujur dengan mengklarifikasinya,
sebagaimana saat orang menyebut saya haji, karena benar saya belum
haji. Bagaimana saya mampu berhaji, saya miskin dan banyak orang yang
tahu bahwa saya sekeluarga hidup sederhana di rumah kontrakan yang
sempit. Namun, sungguh saya tidak bermaksud melakukan pembohongan
publik.
Saya yakin sepenuhnya bahwa penguasaan ilmu dan kemuliaan itu adalah
diberikan oleh Allah kepada para hamba yang dikehendaki-Nya dan
karenanya saya tidak pernah merendahkan siapa saja. Titel kesarjanaan,
gelar panggilan kiai haji, dan pangkat bagi saya bukanlah segalanya.
Saya berusaha menghormati siapa saja yang menjaga kehormatannya. Bagi
saya berbeda pendapat adalah biasa dan wajar saja dan karenanya saya
tetap menaruh hormat kepada siapa saja yang berbeda dari saya, terutama
kepada orang yang lebih tua, lebih-lebih kepada para kiai sepuh.
Dalam persidangan ke-15 itu tentulah saya menjawab dengan benar, jujur,
tanpa sedikit pun kebohongan, di bawah sumpah semua pertanyaan yang
diajukan, baik oleh Majelis Hakim, para Penasehat Hukum, maupun para
para jaksa penuntut umum (JPU).
Apabila para saksi, baik saksi fakta maupun saksi ahli, yang diajukan
JPU lebih bersifat memberatkan terdakwa karena yakin akan kesalahannya,
maka saya sebagai saksi ahli agama yang diajukan oleh para penasihat
hukum bersifat meringankannya, selanjutnya nanti majelis hakimlah yang
akan memutuskan.
Kesaksian itu saya berikan berdasarkan ilmu, sama sekali bukan karena
dorongan hawa nafsu seperti karena ingin popularitas, karena uang dan
atau keuntungan duniawi lainnya. Sungguh tidaklah adil dan bertentangan
dengan konstitusi jika saya disesalkan, dilarang, dimaki-maki, diancam
dan bahkan difitnah karena kesaksian saya itu, baik di dunia nyata
maupun di dunia maya.
Sangat disesalkan bahwa gelombang fitnah dan teror telah menimpa saya,
terutama di media sosial yang kebanyakan ditulis dan dikomentari tanpa
tabayun. Berita yang beredar tentang diri saya dari sisi-sisi yang tidak
benar langsung dipercaya dan segera terburu-buru disebarluaskan. Di
antaranya berita bahwa saya menyatakan bahwa QS al-Maidah ayat 51 tidak
berlaku lagi, tidak relevan, atau expaired.
Berita itu berita bohong (hoax). Yang benar adalah bahwa saya mengatakan
bahwa konteks ayat tersebut dilihat dari sabab an-nuzul-nya terkait
larangan bagi orang beriman agar tidak berteman setia dengan orang
Yahudi dan Nasrani karena mereka memusuhi Nabi, para sahabatnya, dan
mengingkari ajarannya.
Ayat tersebut pada masa itu tidak ada kaitannya dengan pemilihan
pemimpin, apalagi pemilihan gubernur. Adapun kini terkait pilihan
politik ada kebebasan memilih, dan jika berbeda hendaklah saling
menghormati dan tidak perlu memaksakan pendapat dan tidak usah saling
menghujat. Kata "awliya" yang disebut dua kali dalam ayat tersebut jelas
terkategori musytarak, memiliki banyak arti/makna, sehingga tidak
monotafsir, tetapi multitafsir. Pernyataan saya tersebut saya kemukakan
setelah meriset dengan cermat sekitar 30 kitab tafsir, dari yang paling
klasik hingga yang paling kontemporer.
Saya sangat mendambakan dan mencintai keadilan. Oleh sebab itu, setiap
ada berita penting menyangkut siapa saja, baik muslim maupun non muslim,
lebih-lebih jika menyangkut masa depan dan menentukan baik-buruk
nasibnya maka jangan tergesa-gesa di percaya.
Untuk menilai secara adil dan menghindarkan kezaliman menimpa siapa pun
maka berita itu harus diteliti benar tidaknya dengan hati-hati, wajib
dilakukan tabayun (klarifikasi) kepada pelakunya atau ditanyakan kepada
warga di tempat kejadian perkara.
Dalam hal terkait pak BTP (Ahok) saya tahu bahwa dalam mengeluarkan
sikap keagamaan yang menghebohkan itu MUI Pusat tidak melakukan tabayyun
(klarifikasi) terlebih dahulu, baik terutama kepada pak BTP (Ahok)
maupun langsung kepada sebagian penduduk Kepulauan Seribu, karena MUI
Pusat merasa yakin dengan mencukupkan diri dengan hanya menonton video
terkait dan memutuskan Ahok bersalah menistakan Alquran dan Ulama.
Padahal dalam Alquran diperintahkan agar umat Islam bersikap adil dan
sebaliknya dilarang zalim, kepada siapa saja meskipun terhadap orang
yang dibenci. Maka janganlah berlebihan dalam hal apa saja, termasuk
jangan membenci berlebihan hingga hilang rasa keadilan.
Bila kemudian saya menyatakan pendapat yang berbeda dengan ketua umum
MUI (KH Ma'ruf Amin) sebagai saksi fakta dan wakil rais aam PBNU (KH
Miftahul Akhyar) sebagai saksi ahli agama di sidang pengadilan itu maka
itu hal biasa, wajar, dan hal yang lazim saja.
Bagi saya berbeda pendapat itu tidak menafikan penghormatan saya kepada
dua kyai besar tersebut. Dalam hal yang didasari oleh ilmu, bukan hawa
nafsu, berbeda itu biasa dan merupakan sesuatu yang berbeda dari
persoalan penghormatan. Sebagai muslim saya terus memerangi nafsu untuk
bersikap tawadhu (rendah hati) sepanjang hayat.
Terhadap setiap pujian kepada saya, saya tidak bangga dan saya
kembalikan kepada pemilik semua pujian yang sesungguhnya, Allah ta'ala.
Sebaliknya, terhadap caci maki, celaan, fitnah, dan apa saja yang
menyakiti hati saya tidak kecewa dan tidak takut, karena saya menyadari
keberadaan para pencaci di dunia yang sementara ini.
Saya harus berani menyampaikan apa yang menurut ilmu benar. Rasanya
percuma hidup sekali tanpa keberanian, dan menjadi pengecut. Kebenaran
wajib disampaikan, betapa pun pahitnya.
Hanya kepada Allah saya mohon petunjuk dan perlindungan. Semoga kita
dijauhkan dari kezaliman, kejahatan setan (jenis manusia dan jin), dan
dijauhkan dari memperturutkan hawa nafsu." [ito]