Banjir Kecaman dari Berbagai Pihak, Ishomuddin Akhirnya Tulis Surat Terbuka
[tajuk-indonesia.com] - Saksi ahli yang dihadirkan tim pengacara terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama, Ahmad Ishomuddin memberikan klarifikasi terkait berbagai serangan kepadanya.
Serangan terhadap Ishomoddin tidak hanya melalui media sosial tetapi
juga dari berbagai media online, termasuk dari kolega di IAIN Raden
Intan Lampung yang membuat pernyataan sikap secara tertulis terkait
pernyataannya yang membela Ahok.
Atas dasar itu, Ishomuddin memberikan klarifikasi melalui akun
Facebooknya, hari ini. Berikut redaksi kutipkan secara langsung, tabayun
tersebut:
"TABAYYUN SETELAH SIDANG KE-15 KASUS PENODAAN AGAMA
Oleh: Ahmad Ishomuddin
"Beberapa waktu lalu saya diminta oleh penasehat hukum bapak BTP (Ahok)
untuk menjadi saksi ahli atas kasus penodaan agama yang didakwakan
kepadanya. Penasehat hukum dalam UU Advokat juga termasuk penegak hukum
di negara konstitusi Republik Indonesia, sebagaimana dewan hakim dan
para JPU (Jaksa Penuntut Umum). Karena kesadaran hukumlah saya bersedia
hadir dan menjadi saksi ahli dalam sidang ke-15.
Saya menyadari betul dan sudah siap mental menghadapi resiko apa pun,
termasuk mempertaruhkan jabatan saya yang sejak dulu saya tidak pernah
memintanya, yakni baik sebagai Rais Syuriah PBNU (periode 2010-2015 dan
2015-2020) maupun Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat (2015-2020), demi
turut serta menegakkan keadilan itu. Sebab, sepertinya umat Islam sudah
lelah dan kehabisan energi karena terlalu lama mempersengketakan kasus
pak BTP (Ahok).
Sebagian umat yakin ia pasti bersalah dan sebagian lagi menyatakan belum tentu bersalah menistakan Qs. al-Maidah ayat 51.
Oleh sebab itu, persengketaan dan perselisihan tersebut segera
diselesaikan di pengadilan, agar di negara hukum kita tidak memutuskan
hukum sendiri-sendiri. Saya hadir, sekali lagi saya nyatakan, di
persidangan karena diminta dan karena ingin turut serta terlibat untuk
menyelesaikan konflik seadil-adilnya di hadapan dewan hakim yang
terhormat.
Saya hadir di persidangan bukan atas nama PBNU, MUI, maupun IAIN Raden
Intan Lampung, melainkan sebagai pribadi. Tidak mewakili PBNU dan MUI
karena sudah ada yang mewakilinya. Saya bersedia menjadi saksi ahli pada
saat banyak orang yang diminta menjadi saksi ahli pihak pak BTP
berpikir-pikir ulang dan merasa takut ancaman demi menegakkan keadilan.
Dalam hal ini saya berupaya menolong para hakim agar tidak menjatuhkan
vonis kepadanya secara tidak adil (zalim), yakni menghukum orang yang
tidak bersalah dan membebaskan orang yang salah. Tentu karena saya juga
berharap agar seluruh rakyat Indonesia tenang dan tidak terus menerus
gaduh apa pun alasannya hingga vonis dewan hakim diberlakukan. Rakyat
harus menerima keputusan hakim agar tidak ada lagi anak bangsa ini main
hakim sendiri di negara hukum.
Saya hadir sebagai saksi ahli agama karena dinilai ahli oleh para
penasehat hukum terdakwa, dan di muka persidangan saya tidak mengaku
sebagai ahli tafsir, melainkan fiqih dan ushul al-fiqh. Suatu ilmu yang
sudah sejak lama saya tekuni dan saya ajarkan kepada para penuntut ilmu.
Namun, itu bukan berarti saya buta dan tidak mengerti sama sekali
dengan kitab-kitab tafsir. Alhamdulillah, saya dianugerahi oleh Allah
kenikmatan besar untuk mampu membaca dan memahami dengan baik berbagai
referensi agama seperti kitab-kitab tafsir berbahasa Arab, bukan dari
buku-buku terjemahan. Semua itu adalah karena barakah dan sebab doa dari
orang tua dan para kyai saya di berbagai pondok pesantren.
Saat saya ditanya tentang pendidikan terakhir saya oleh ketua majelis
hakim, saya menjawab bahwa pendidikan formal terakhir saya adalah Strata
2 konsentrasi Syari'ah. Saya memang belum bergelar Doktor, meski saya
pernah kuliah hingga semester 3 di program S-3 dan tinggal menyusun
disertasi namun sengaja tidak saya selesaikan. Jika ada yang menyebut
saya Doktor saya jujur dengan mengklarifikasinya, sebagaimana saat orang
menyebut saya haji, karena benar saya belum haji. Bagaimana saya mampu
berhaji, saya miskin dan banyak orang yang tahu bahwa bahwa saya
sekeluarga hidup sederhana di rumah kontrakan yang sempit. Namun sungguh
saya tidak bermaksud melakukan pembohongan publik. Saya yakin
sepenuhnya bahwa penguasaan ilmu dan kemuliaan itu adalah diberikan oleh
Allah kepada para hamba yang dikehendaki-Nya dan karenanya saya tidak
pernah merendahkan siapa saja. Titel kesarjanaan, gelar panggilan kyai
haji, dan pangkat bagi saya bukanlah segalanya. Saya berusaha
menghormati siapa saja yang menjaga kehormatannya. Bagi saya berbeda
pendapat adalah biasa dan wajar saja dan karenanya saya tetap menaruh
hormat kepada siapa saja yang berbeda dari saya, terutama kepada orang
yang lebih tua, lebih-lebih kepada para kyai sepuh.
Dalam persidangan ke-15 itu tentulah saya menjawab dengan benar, jujur,
tanpa sedikitpun kebohongan, di bawah sumpah semua pertanyaan yang
diajukan, baik oleh Majelis Hakim, para Penasehat Hukum, maupun para
para Jaksa Penuntut Umum (JPU). Apabila para saksi, baik saksi fakta
maupun saksi ahli, yang diajukan JPU lebih bersifat memberatkan terdakwa
karena yakin akan kesalahannya, maka saya sebagai saksi ahli agama yang
diajukan oleh para Penasehat Hukum bersifat meringankannya, selanjutnya
nanti majelis hakimlah yang akan memutuskannya. Kesaksian itu saya
berikan berdasarkan ilmu, sama sekali bukan karena dorongan hawa nafsu
seperti karena ingin popularitas, karena uang dan atau keuntungan
duniawi lainnya. Sungguh tidaklah adil dan bertentangan dengan
konstitusi jika saya disesalkan, dilarang, dimaki-maki, diancam dan
bahkan difitnah karena kesaksian saya itu, baik di dunia nyata maupun di
dunia maya.
Sangat disesalkan bahwa gelombang fitnah dan teror telah menimpa saya,
terutama di media sosial yang kebanyakan ditulis dan dikomentari tanpa
tabayyun. Berita yang beredar tentang diri saya dari sisi-sisi yang
tidak benar langsung dipercaya dan segera terburu-buru disebarluaskan.
Di antaranya berita bahwa saya menyatakan bahwa Qs. al-Maidah ayat 51
tidak berlaku lagi, tidak relevan, atau expaired. Berita itu berita
bohong (hoax). Yang benar adalah bahwa saya mengatakan bahwa konteks
ayat tersebut dilihat dari sabab an-nuzulnya terkait larangan bagi orang
beriman agar tidak berteman setia dengan orang Yahudi dan Nasrani
karena mereka memusuhi Nabi, para sahabatnya, dan mengingkari ajarannya.
Ayat tersebut pada masa itu tidak ada kaitannya dengan pemilihan
pemimpin, apalagi pemilihan gubernur. Adapun kini terkait pilihan
politik ada kebebasan memilih, dan jika berbeda hendaklah saling
menghormati dan tidak perlu memaksakan pendapat dan tidak usah saling
menghujat. Kata " awliya' " yang disebut dua kali dalam ayat tersebut
jelas terkategori musytarak, memiliki banyak arti/makna, sehingga tidak
monotafsir, tetapi multi tafsir. Pernyataan saya tersebut saya kemukakan
setelah meriset dengan cermat sekitar 30 kitab tafsir, dari yang paling
klasik hingga yang paling kontemporer.
Saya sangat mendambakan dan mencintai keadilan. Oleh sebab itu, setiap
ada berita penting menyangkut siapa saja, baik muslim maupun non muslim,
lebih-lebih jika menyangkut masa depan dan menentukan baik-buruk
nasibnya, maka jangan tergesa-gesa di percaya. Untuk menilai secara adil
dan menghindarkan kezaliman menimpa siapa pun maka berita itu harus
diteliti benar tidaknya dengan hati-hati, wajib dilakukan tabayyun
(klarifikasi) kepada pelakunya atau ditanyakan kepada warga di tempat
kejadian perkara.
Dalam hal terkait pak BTP (Ahok) saya tahu bahwa dalam mengeluarkan
sikap keagamaan yang menghebohkan itu MUI Pusat tidak melakukan tabayyun
(klarifikasi) terlebih dahulu, baik terutama kepada pak BTP (Ahok)
maupun langsung kepada sebagian penduduk kepulauan Seribu, karena MUI
Pusat merasa yakin dengan mencukupkan diri dengan hanya menonton video
terkait dan memutuskan Ahok bersalah menistakan al-Qur'an dan Ulama.
Padahal dalam al-Qur'an diperintahkan agar umat Islam bersikap adil dan
sebaliknya dilarang zalim, kepada siapa saja meskipun terhadap orang
yang dibenci. Maka janganlah berlebihan dalam hal apa saja, termasuk
jangan membenci berlebihan hingga hilang rasa keadilan.
Bila kemudian saya menyatakan pendapat yang berbeda dengan Ketua Umum
MUI (KH. Ma'ruf Amin) sebagai saksi fakta dan Wakil Rais Aam PBNU (KH.
Miftahul Akhyar) sebagai saksi ahli agama di sidang pengadilan itu, maka
itu hal biasa, wajar, dan hal yang lazim saja. Bagi saya berbeda
pendapat itu tidak menafikan penghormatan saya kepada dua kyai besar
tersebut. Dalam hal yang didasari oleh ilmu, bukan hawa nafsu, berbeda
itu biasa dan merupakan sesuatu yang berbeda dari persoalan
penghormatan. Sebagai muslim saya terus memerangi nafsu untuk bersikap
tawadlu' (rendah hati) sepanjang hayat.
Terhadap setiap pujian kepada saya, saya tidak bangga dan saya
kembalikan kepada pemilik semua pujian yang sesungguhnya, Allah ta'ala.
Sebaliknya, terhadap caci maki, celaan, fitnah dan apa saja yang
menyakiti hati saya tidak kecewa dan tidak takut, karena saya menyadari
keberadaan para pencaci di dunia yang sementara ini. Saya harus berani
menyampaikan apa yang menurut ilmu benar. Rasanya percuma hidup sekali
tanpa keberanian, dan menjadi pengecut. Kebenaran wajib disampaikan,
betapa pun pahitnya.
Hanya kepada Allah saya mohon petunjuk dan perlindungan. Semoga kita
dijauhkan dari kezaliman, kejahatan syetan (jenis manusia dan jin), dan
dijauhkan dari memperturutkan hawa nafsu." [rnc]