"Agama dan Politik Bukan Kambing Hitam"
[tajuk-indonesia.com] - Agama itu tuntunan untuk manusia, dan kebutuhan manusia agar mendapatkan jalan yang benar, baik di dunia maupun di akhirat. Agar proses dan pelaksanaan politik itu suci dan mulia, juga diperlukan agama’.
Agama
‘Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya’.
Itulah kalimat alinea -3 Pembukaan UUD 45. Kalimat ini banyak makna,
antara lain menunjukkan bahwa rakyat Indonesia itu makhluk beragama.
Rakyat Indonesia menyadari bahwa apa yang terjadi adalah karena Allah
Yang Maha Kuasa.
Umat Islam dan umat lain, umumnya mempercayai ada empat kitab suci yang
diturunkan Allah Yang Mahakuasa. Kitab Taurat diturunkan kepada Nabi
Musa AS berbahasa Ibrani. Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Daud AS
berbahasa Qibti. Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa AS berbahasa
Aramaik. Kitab Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW berbahasa
Arab. Semua mengajarkan cara hidup yang baik di dunia untuk menuju
kehidupan akhirat.
Ajaran agama itu kebutuhan manusia. Mengapa, karena selain manusia ada
makhluk Tuhan yang bernama iblis atau setan yang mendapatkan ijin
menggoda manusia. Ketika Allah Yang Mahakuasa menciptakan manusia
pertama dengan nama Adam, iblis inilah satu-satunya makhluk yang tidak
patuh kepada Sang Pencipta. Karena itulah, tidaklah salah jika ada
manusia yang menentang ajaran agama atau ajaran Allah Yang Mahakuasa,
disebut dengan iblis atau setan. Bahkan orang dengan perangai buruk pun
mendapat cemooh sebagai iblis atau setan.
Politik
Mencermati kehidupan berbangsa dan bernegara aspek politik, kita dengar
ada stigma ‘politik itu kotor’. Namun ada juga ‘politik itu suci’.
Keduanya bisa benar. Politik itu suci, memang ada kaitan dengan tujuan
manusia untuk duduk dalam kekuasaan. Kekuasaan yang diimpikan bertujuan
mulia, untuk mengurusi kesejahteraan rakyatnya. Politik itu kotor,
ketika untuk mencapai kekuasaan dan ketika berkuasa, manusianya
melakukan dengan cara kotor yang menyimpang dari ajaran agama.
Mengapa kotor? Karena politik yang dilakukan tidak dilandasi agama.
Politik yang dilaksanakan atas dasar dorongan nafsu iblis dan setan.
Politik harus memiliki keterkaitan yang erat dengan agama, jika ingin
disebut politik itu suci. Politikus harus beragama dan politik yang
dijalankan tidak menjauh dari ajaran agama sebagai landasannya. Bagi
politikus Indonesia, pikiran dan kiprahnya harus didasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Lain hal jika politikus itu ateis atau murid Karl Marx maupun murid DN
Aidit. Bisa jadi mereka akan berpolitik tidak dilandasi agama atau
politik dipisahkan dengan agama. Konon DN Aidit pernah mengatakan ‘Agama
adalah candu. Revolusi mental tidak akan pernah berhasil bila rakyat
tak dijauhkan dari agama’. Dengan demikian, bisa dipastikan politik
mereka menghalalkan segala cara, menabrak norma-norma agama dan sosial.
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Sila-1 dari falsafah bangsa Indonesia.
Artinya, rakyat Indonesia harus beragama. Tiap-tiap sila Pancasila
memiliki hubungan hirarkis piramidal atau saling berkaitan. Sila-1
mengilhami sila ke-2, 3, 4 dan sila-5. Artinya dalam segala hal yang
berkaitan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus dijiwai oleh
nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian keliru besar jika
kita memisahkan politik dan aspek kehidupan lainnya (ideologi, ekonomi,
sosial budaya, pertahanan dan keamanan) dengan agama.
Konflik dan Perpecahan
Kita cermati lebih dalam lagi permainan politik di dalam proses
pelaksanaan Pemilu. Setelah reformasi konstitusi dengan mengamandemen
UUD 45, dan diaksanakannya Pemilu, terasa sekali persatuan bangsa
Indonesia terganggu. Mulai dari keluarga, whatsapp group, RT RW,
lingkungan masyarakat, internal dan antar Parpol, kehidupan di internal
dan antar lembaga lembaga negara, berbagai macam organisasi dan media,
sangat terasa sekali goyahnya persatuan.
Perbedaan pendapat memang lumrah. Menjadi tidak lumrah jika perbedaan
tersebut terhembus sepanjang waktu dan mengancam persatuan. Pilpres
masih tahun 2019, namun sejak selesai Pilpres 2014 saja, hembusan
propaganda, agitasi, penggalangan, kampanye putih dan hitam,
pengkaplingan suara untuk kepentingan politik terus bergulir.
Suara-suara rakyat sudah mulai terkapling tidak karuan. Apakah
terbelahnya persatuan itu akibat agama? Salah besar jika
mengkambinghitamkan agama.
Terpecahnya persatuan bukan karena agama dan suku. Agama dan suku adalah
kodrat yang dimiliki bangsa, bukan akar masalah. Perpecahan yang
menyebar hampir di semua strata kehidupan, akar masalahnya lebih
disebabkan adanya ‘ketidakjujuran’ dan ‘ketidakadilan’. Ketidakjujuran
dalam mengemban amanat rakyat dan ketidakadilan dalam semua aspek
kehidupan akibat lemahnya penegakan hukum. Ketidakjujuran dan
ketidakadilan sebagai pemicu, namun dari tampak luar perpecahan
seolah-olah disebabkan faktor suku atau agama.
Menarik kesimpulan dengan mengkambinghitamkan suku dan agama sebagai
penyebab, terlalu gegabah. Mestinya, perlu juga mencermati pelaksanaan
sistem pemerintahan dalam negara. Apakah pemisahan tiga kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif sudah sesuai dengan kaidah Trias
Politika? Check and balance, saling kontrol dan mengimbangi antar ketiga
kekuasan sudahkah dilaksanakan dengan baik? Penilaian atau jawaban atas
pertanyaan tersebut, akan sempurna jika yang menjawab individu di luar
sistem.
Tanpa bermaksud menuduh, kita bisa membuat permisalan. Misalnya, ada
kasus dugaan penistaan agama, terus pemilik agama meminta ditegakkannya
aturan sebagaimana mestinya, tetapi justru dituduh intoleran. Ada
tuntutan keadilan suatu kasus, tetapi justru diteror, diintimidasi baik
secara fisik dan non fisik serta dikriminalisasi. Ada dugaan korupsi,
yang kasusnya sangat nyata. Pembelian tanah dengan alamat administrasi
berbeda dengan fisik di lapangan, dibayar dengan NJOP yang berlipat tiga
kali. Sudah dibayar lunas, tanah pun tidak dapat. Audit investigasi BPK
menyatakan ada kerugian negara (bukan lagi indikasi) tetapi kasusnya
mangkrak di KPK. Padahal audit investigasi BPK atas permintaan KPK.
Tidak ada niat jahat, kata KPK dengan entengnya.
Permisalan kasus di atas jelas tidak bisa lepas dari pengamatan rakyat.
Pertama kelompok pakar hukum dan rakyat yang menginginkan tegaknya
hukum. Kedua pejabat dan rakyat yang menikmati atas kasus tersebut.
Ketiga rakyat yang terbeli. Jadi sangat jelas ada kelompok-kelompok yang
saling bersebrangan dan berhadapan. Inilah contoh sumber konflik dan
perpecahan rakyat akibat adanya ketidakadilan dalam hukum.
Secara akademis, terjadinya konflik dan perpecahan tidak terlepas dari
sejauhmana konsepsi Trias Politika dilaksanakan. Artinya, sejauh mana
pemisahan ketiga kekuasan dilaksanakan secara konsekuen. Kasus
ketidakadilan, umumnya akibat terkooptasinya kekuasaan yudikatif baik
individu atau kelembagaan. Intervensi kekuasaan eksekutif dan legislatif
terhadap kekuasaan yudikatif membuahkan ketidakjujuran dan
ketidakadilan yang menghilangkan kepercayaan rakyat. Hilangnya
kepercayaan akibat ketidakjujuran dan ketidakadilan semacam inilah yang
sejatinya memicu konflik dan perpecahan.
Rekomendasi
Dengan melalui perenungan yang jujur dan mendalam, kiranya kita bisa menarik beberapa kesimpulan antara lain :
Pertama, memisahkan politik dengan agama dari perspektif apapun tidaklah
benar. Politik tanpa landasan agama akan menghasilkan ‘Politik itu
kotor’. Justru sebaliknya, politik harus diilhami dan dilandasi agama
sehingga ‘Politik itu suci’.
Kedua, akar permasalahan konflik dan perpecahan itu bukan faktor suku
dan agama. Awal-muawal konflik dan perpecahan itu akibat adanya
ketidakjujuran dan ketidakadilan, sehingga tidak menutup kemungkinan
bisa menyulut atau bersinggungan dengan faktor suku dan agama. Karena
itulah, semua fihak harus menjunjung tinggi atau mengedepankan kejujuran
dan keadilan dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, kejujuran dan keadilan bisa tercapai jika semua penyelenggara
negara dan semua pihak dalam mengemban amanat rakyat selalu
mengedepankan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Tanpa ada yang
terkecuali, tatkala berpikir dan bertindak untuk kepentingan ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan harus diilhami
nilai-nilai Pancasila dan dalam koridor ke-Indonesia-an.
Keempat, konsepsi pemisahan tiga kekuasan eksekutif, legislatif dan
yudikatif harus dilaksanakan secara konsekuen. Kekuasaan yudikatif tidak
boleh terkooptasi. Kekuasaan eksekutif dan legislatif tidak boleh
intervensi kekuasaan yudikatif.
Kelima, jika kita yakin bahwa perpecahan bangsa Indonesia mulai terasa
sejak amandemen UUD 45 dan setelah dilaksanakannya Pemilu semakin
menggeliat tajam sampai sekarang, maka tidak ada salahnya jika kita
‘Kembali ke UUD 45 Asli untuk Disempurnakan’ dengan cara adendum.
Penyempurnaan diarahkan terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara
berdasarkan Pancasila. Penyelenggaraan pemerintahan tidak otoriter dan
tidak militeristik, menegakkan HAM dan tidak memecah belah rakyat,
dengan Presiden orang Indonesia asli yang jabatannya dibatasi.
Di samping itu, pemerintahan yang mengelola sumber daya alam yang
menguasai hajat hidup rakyat dikelola negara, untuk kemakmuran rakyat
Indonesia. Mengimplementasikan kedaulatan rakyat di tangan rakyat
melalui wadah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai representasi rakyat
Indoesia. Pemerintahan yang mengedepankan musyawarah mufakat dan
gotong-royong demi terwujudnya Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.
Tidak ada kata terlambat. Dengan dilandasi jiwa patriotisme dan
kejuangan, semua pihak segera sadar untuk mengambil keputusan
menyelamatkan NKRI. Semoga keputusan yang diambil mampu menepis kajian
yang menyatakan, negara Indonesia akan tinggal nama akibat carut marut
dalam negeri dan akibat perang dua negara besar di Laut Cina Selatan,
tahun 2030. Insya Allah. [tsc]