Yunahar Ilyas: Memilih Pemimpin Berdasarkan Agama Tidak Langgar Konstitusi, Justru Menguatkan NKRI
[tajuk-indonesia.com] - Ketua PP Muhammadiyah ini, salah satu akademisi yang menentang pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mengatakan, kalau memilih pemimpin hanya berdasarkan agama itu melanggar konstitusi. Ahok mengatakan hal itu di acara serah terima jabatan (sertijab) Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Lantas apa alasan Yunahar Ilyas menentang pernyataan Ahok, berikut penuturannya;
Apa tanggapan anda terhadap pernyataan Ahok?
Menurut saya, memilih berdasarkan agama tidak bertentangan dengan konstitusi, dan sama sekali tidak memecah belah, bahkan justru akan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Alasannya?
Karena kenyataannya begitu. Jangankan berdasarkan agama, sekarang memilih berdasarkan partai saja bisa kok. Buktinya banyak slogan yang mengajak untuk memilih orang dari partai tertentu. Apa memecah belah itu? Kenyataannya kan tidak. Itulah sistem demokrasi.
Tapi Indonesia kan bukan negara yang berdasarkan hukum agama?
Indonesia memang bukan negara yang secara langsung berdasarkan hukum Al Quran dan sunah. Tapi bukan berarti negara yang meninggalkan Al Quran dan sunah. Buktinya, konstitusi dan undang - undang tidak melarang kita untuk memilih berdasarkan keyakinan agama.
Jadi memilih pemimpin berdasarkan agama itu tidak masalah?
Sangat boleh. Yang tidak dibolehkan itu apabila mereka, umat Islam menuntut dibuatkan undang-undang tidak boleh nonmuslim menjadi pemimpin. Itu baru melanggar ketentuan. Kalau tidak menuntut itu, ya tidak masalah. Kan dia hanya akan menggunakan haknya sesuai dengan kriteria-kriterianya.
Kalau menurut anda sebetulnya memilih berdasarkan agama itu hak apa kewajiban?
Dalam pemahaman Pimpinan Pusat Muhammadiyah, memilih itu adalah hak sekaligus kewajiban. Kewajiban sebagai warga negara Indonesia, memilih pemimpin nanti yang dipilihnya adalah yang terbaik.
Tapi menjadi hak dia untuk menentukan kriteria yang terbaik menurut dia. Apakah yang terbaik satu kampung, satu kampus, satu etnis, apalagi satu agama itu sepenuhnya urusan dia. Tidak bisa dilarang.
Kalau dikaitkan dengan surat Al - Maidah 51?
Kalau dikaitkan dengan itu, umat Islam jelas dilarang memilih pemimpin Yahudi dan Nasrani. Memilih pemimpin non muslim itu dalam agama Islam hukumnya haram. Haram karena diikuti ancaman. Sebaliknya, jika tidak diikuti ancaman maka termasuk makruh. Dalam Al Maidah 51 kan ada kata "Aulia". Ada yang mengatikannya sebagai teman.
Nah kalau itu diartikan sebagai teman, kan berarti tidak melarang memilih pemimpin non muslim?
Menurut saya dalam ayat tersebut lebih tepat kalau artinya pemimpin.
Kenapa bukan teman?
Kalau menurut saya, jika Al Maidah diterjemahkan dengan teman dekat, justru lebih berat, yang moderat diartikan ke pemimpin.
Kalau diartikan ke teman setia, maka berteman pun tidak boleh dengan Yahudi dan Nasrani, apalagi memilihnya sebagai pemimpin. Dengan begitu kan jadi lebih berat.
Dalam konteks Al Maidah 51 sebenarnya pemimpin yang seperti apa sih?
Pemimpin yang bersifat struktural. Pemimpin struktural, adalah pemimpin yang dipilih. Misalnya presiden, wakil presiden, termasuk gubernur. Tapi menteri tidak dipilih, sehingga tidak pernah ada memperdebatkan menteri nonmuslim. Begitu juga pekerjaan-pekerjaan bersifat profesional, seperti direktur, direktur utama.
Terkait pidato Ahok yang menyinggung Al - Maidah 51 yang kini menjadi perkara, bagaimana tanggapan anda?
Ungkapan Ahok, terutama pada kalimat dibohongi pakai Al Maidah macam-macam itu, menurut saya ada unsur penistaan, penodaan terhadap ulama, atau terhadap Al Maidah itu sendiri.
Tapi dalam pidatonya, Ahok kan tidak menyebut kata-kata ulama?
Memang. Tapi, kata "orang" yang disebut Ahok dalampidatonya itu bermakna luas. Pidato Ahok tersebut, bisa bermakna siapa saja yang mengutip surat Al - Maidah ayat 51 telah berbohong. Itu yang dituduh berbohong bisa saja politisi, mubalig, guru, bisa ulama. Dalam konteks ini yang punya otoritas mewarisi nabi menyampaikan risalah Islam adalah ulama. Maka, ucapan itu telah menistakan ulama.
Bentuk penistaan terhadap ayatnya di mana?
Ucapan 'jangan mau dibohongi pakai Surat Al - Maidah' yang disampaikan terdakwa, itu artinya, Al Maidah ayat 51 dikatakan sebagai alat untuk berbohong. Artinya tidak membolehkan umat Islam memilih pemimpin yang beragama lain itu bohong.
Padahal, itu ayat dari kitab suci Al - Quran tidak bisa dikatakan sebagai alat untuk berbohong. Intinya di kata bohong itu yang paling berat. Karena dalam ilmu hadis, bohong itu adalah satu dosa besar yang menyebabkan seluruh riwayat dia ditolak, sehingga kalau orang dikatakan bohon, dia tidak akan dipercaya lagi. *** [rmol]
Kalau dikaitkan dengan itu, umat Islam jelas dilarang memilih pemimpin Yahudi dan Nasrani. Memilih pemimpin non muslim itu dalam agama Islam hukumnya haram. Haram karena diikuti ancaman. Sebaliknya, jika tidak diikuti ancaman maka termasuk makruh. Dalam Al Maidah 51 kan ada kata "Aulia". Ada yang mengatikannya sebagai teman.
Nah kalau itu diartikan sebagai teman, kan berarti tidak melarang memilih pemimpin non muslim?
Menurut saya dalam ayat tersebut lebih tepat kalau artinya pemimpin.
Kenapa bukan teman?
Kalau menurut saya, jika Al Maidah diterjemahkan dengan teman dekat, justru lebih berat, yang moderat diartikan ke pemimpin.
Kalau diartikan ke teman setia, maka berteman pun tidak boleh dengan Yahudi dan Nasrani, apalagi memilihnya sebagai pemimpin. Dengan begitu kan jadi lebih berat.
Dalam konteks Al Maidah 51 sebenarnya pemimpin yang seperti apa sih?
Pemimpin yang bersifat struktural. Pemimpin struktural, adalah pemimpin yang dipilih. Misalnya presiden, wakil presiden, termasuk gubernur. Tapi menteri tidak dipilih, sehingga tidak pernah ada memperdebatkan menteri nonmuslim. Begitu juga pekerjaan-pekerjaan bersifat profesional, seperti direktur, direktur utama.
Terkait pidato Ahok yang menyinggung Al - Maidah 51 yang kini menjadi perkara, bagaimana tanggapan anda?
Ungkapan Ahok, terutama pada kalimat dibohongi pakai Al Maidah macam-macam itu, menurut saya ada unsur penistaan, penodaan terhadap ulama, atau terhadap Al Maidah itu sendiri.
Tapi dalam pidatonya, Ahok kan tidak menyebut kata-kata ulama?
Memang. Tapi, kata "orang" yang disebut Ahok dalampidatonya itu bermakna luas. Pidato Ahok tersebut, bisa bermakna siapa saja yang mengutip surat Al - Maidah ayat 51 telah berbohong. Itu yang dituduh berbohong bisa saja politisi, mubalig, guru, bisa ulama. Dalam konteks ini yang punya otoritas mewarisi nabi menyampaikan risalah Islam adalah ulama. Maka, ucapan itu telah menistakan ulama.
Bentuk penistaan terhadap ayatnya di mana?
Ucapan 'jangan mau dibohongi pakai Surat Al - Maidah' yang disampaikan terdakwa, itu artinya, Al Maidah ayat 51 dikatakan sebagai alat untuk berbohong. Artinya tidak membolehkan umat Islam memilih pemimpin yang beragama lain itu bohong.
Padahal, itu ayat dari kitab suci Al - Quran tidak bisa dikatakan sebagai alat untuk berbohong. Intinya di kata bohong itu yang paling berat. Karena dalam ilmu hadis, bohong itu adalah satu dosa besar yang menyebabkan seluruh riwayat dia ditolak, sehingga kalau orang dikatakan bohon, dia tidak akan dipercaya lagi. *** [rmol]