Surat Sudirman Said Menambah Ruwet Polemik Freeport
[tajuk-indonesia.com] - Konflik antara PT Freeport Indonesia (PTFI) dan pemerintah Indonesia tak kunjung menemui titik temu. Situasi bahkan kian memanas setelah Freeport memberi tenggat 120 hari kepada pemerintah untuk mengurus negosiasi masalah status kontrak sebelum dibawa ke pengadilan internasional atau arbitrase.
Salah satu pangkal persoalan yang dianggap menjadi pemantik konflik saat ini adalah surat yang diterbitkan Sudirman Said saat masih menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya. Surat yang ditandatangani Said itu mengizinkan Freeport melanjutkan kegiatan operasi sesuai Kontrak Karya hingga 30 Desember 2021.
Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengungkapkan, surat dari Said itu melemahkan posisi pemerintah yang kini menghendaki Freeport untuk berstatus Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Syarat itu harus dipatuhi Freeport jika mereka mau menjadi perusahaan tambang yang punya izin ekspor.
“Jadi Pak Sudirman Said kirim surat ke yang dulu, seolah-olah PTFI akan diperpanjang setelah 2021. Ini justru melemahkan posisi Indonesia dalam menghadapi PTFI,” kata Fahmy.
Said mengirim surat itu pada 7 Oktober 2015 kepada Freeport McMoran Inc. Dalam surat itu, Said menyatakan, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memastikan keberlanjutan investasi asing di Indonesia.
Hanya saja, hal tersebut masih perlu disesuai dengan aturan di Indonesia sehingga persetujuan perpanjangan kontrak Freeport akan diberikan setelah hasil penataan peraturan dan perundingan.
“Sebagai konsekuensi atas persetujuan tersebut, PTFI berkomitmen untuk menginvestasikan dana tambahan US$18 miliar untuk kegiatan operasi PTFI selanjutnya,” tulis Said dalam surat tersebut.
Surat tersebut merupakan balasan dari permohonan operasi Freeport pada 9 Juli 2015. Dalam balasan surat, Said juga menyebut pemerintah Indonesia akan menata ulang regulasi agar lebih menarik investasi dalam bidang sumber daya alam di Indonesia.
Kendati demikian, Fahmi menilai Freeport hanya punya potensi peluang lebih kecil untuk menang karena mereka belum mematuhi pembangunan smelter sebagaimana yang disyaratkan dalam undang-undang..
“Peluang kita itu 70 persen, dia 30 persen. Karena yang dilakukan pemerintah agar PTFI ini bangun smelter kan dasar Undang-Undang (UU), selama dasarnya UU, itu jadi pertimbangan kuat,” ucap Fahmy.
Freeport dianggap hanya akan mendulang rugi yang lebih tinggi jika nantinya kalah dalam arbitrase, yang bisa memakan waktu enam bulan hingga satu tahun.
Sepanjang masa itu, Freeport otomatis wajib menghentikan operasionalnya sementara. Sehingga, perusahaan tak akan mendapatkan pendapatan sedikitpun.
“Nah begitu dihentikan, tidak produksi, tidak ada pendapatan, harga saham pun turun. Kalau diteruskan bisa bangkrut kan,” kata dia.
Sementara, jika pemerintah Indonesia kalah, maka pemerintah hanya perlu mengubah isi UU yang diinginkan oleh Freeport. Di mana, melalui PP nomor 1 2017, pemerintah mewajibkan PTFI berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari Kontrak Karya (KK)
“Atau kalau Indonesia kalah harus izinkan PTFI ekspor konsentrat tanpa diolah di smelter,” ujar Fahmi. [CNN Indonesia]
Hanya saja, hal tersebut masih perlu disesuai dengan aturan di Indonesia sehingga persetujuan perpanjangan kontrak Freeport akan diberikan setelah hasil penataan peraturan dan perundingan.
“Sebagai konsekuensi atas persetujuan tersebut, PTFI berkomitmen untuk menginvestasikan dana tambahan US$18 miliar untuk kegiatan operasi PTFI selanjutnya,” tulis Said dalam surat tersebut.
Surat tersebut merupakan balasan dari permohonan operasi Freeport pada 9 Juli 2015. Dalam balasan surat, Said juga menyebut pemerintah Indonesia akan menata ulang regulasi agar lebih menarik investasi dalam bidang sumber daya alam di Indonesia.
Kendati demikian, Fahmi menilai Freeport hanya punya potensi peluang lebih kecil untuk menang karena mereka belum mematuhi pembangunan smelter sebagaimana yang disyaratkan dalam undang-undang..
“Peluang kita itu 70 persen, dia 30 persen. Karena yang dilakukan pemerintah agar PTFI ini bangun smelter kan dasar Undang-Undang (UU), selama dasarnya UU, itu jadi pertimbangan kuat,” ucap Fahmy.
Freeport dianggap hanya akan mendulang rugi yang lebih tinggi jika nantinya kalah dalam arbitrase, yang bisa memakan waktu enam bulan hingga satu tahun.
Sepanjang masa itu, Freeport otomatis wajib menghentikan operasionalnya sementara. Sehingga, perusahaan tak akan mendapatkan pendapatan sedikitpun.
“Nah begitu dihentikan, tidak produksi, tidak ada pendapatan, harga saham pun turun. Kalau diteruskan bisa bangkrut kan,” kata dia.
Sementara, jika pemerintah Indonesia kalah, maka pemerintah hanya perlu mengubah isi UU yang diinginkan oleh Freeport. Di mana, melalui PP nomor 1 2017, pemerintah mewajibkan PTFI berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari Kontrak Karya (KK)
“Atau kalau Indonesia kalah harus izinkan PTFI ekspor konsentrat tanpa diolah di smelter,” ujar Fahmi. [CNN Indonesia]