Soal Freeport, Pemerintah Harus Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan
[tajuk-indonesia.com] - Jangankan mendapat ganti rugi, masyarakat adat Papua khususnya Suku Amugme tidak pernah dilibatkan dalam kontrak karya antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia sejak tahun 1967.
Demikian disampaikan Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan
Komnas HAM Natalius Pigai saat jumpa pers di kantornya, Jalan
Latuharhari, Jakarta (Jumat, 24/2).
"Suku Amungme yang menguasai tanah hukum adat Amungsa yang kini menjadi wilayah konsesi PT Freeport Indonesia berhak mendapat ganti rugi, sebagai penghormatan hak ulayat masyarakat adat. Tapi sampai hari ini dilibatkan saja tidak," bebernya.
Menurut Pigai, proses pemberian ganti rugi dan saham kepada masyarakat bisa dilakukan dengan melihat status tanah secara faktual atau legal. Contohnya saat sengketa antara Indonesia dengan Malaysia yang memperebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan, di mana pengadilan internasional memenangkan Malaysia dalam gugatan. Karena melihat secara faktual bahwa kedua pulau dikelola oleh rakyat Malaysia.
"Kalau proses pemindahan kekuasaan saja bisa, seharusnya proses jual beli juga harus bisa dilakukan dalam tanah berstatus faktual," tegasnya. [rmol]
"Suku Amungme yang menguasai tanah hukum adat Amungsa yang kini menjadi wilayah konsesi PT Freeport Indonesia berhak mendapat ganti rugi, sebagai penghormatan hak ulayat masyarakat adat. Tapi sampai hari ini dilibatkan saja tidak," bebernya.
Menurut Pigai, proses pemberian ganti rugi dan saham kepada masyarakat bisa dilakukan dengan melihat status tanah secara faktual atau legal. Contohnya saat sengketa antara Indonesia dengan Malaysia yang memperebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan, di mana pengadilan internasional memenangkan Malaysia dalam gugatan. Karena melihat secara faktual bahwa kedua pulau dikelola oleh rakyat Malaysia.
"Kalau proses pemindahan kekuasaan saja bisa, seharusnya proses jual beli juga harus bisa dilakukan dalam tanah berstatus faktual," tegasnya. [rmol]