Sertifikasi Khatib dan Politisi, Mana Lebih Urgen?


[tajukindonesia.net]         -         Beberapa waktu belakangan ini wacana sertifikasi khatib mengemuka menyusul panasnya suhu politik yang dinilai akibat menguatnya fundamentalisme agama. Sejumlah kalangan menilai sertifikasi khatib, terutama untuk shalat Jumat, penting dilakukan untuk standardisasi materi khutbah supaya tidak melenceng dari khittah.

Wacana sertifikasi khatib menjadi viral ketika diafirmasi oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang mengatakan wacana mengenai sertifikasi khatib atau penceramah salat Jumat merupakan aspirasi dari masyarakat. Menurutnya, pemerintah sebagai fasilitator tidak akan bertindak sendirian untuk melakukannya, tapi dengan menggandeng para ulama yang ada di organisasi kemasyarakatan Islam.

Lukman menilai, sertifikasi penting mengingat ada kecenderungan beberapa masjid menyampaikan khutbah yang justru memicu perpecahan karena isi ceramah yang kontradiktif dengan nilai-nilai keislaman itu sendiri.

Ada sejumlah alasan mengapa wacana sertifikasi khatib akan menjadi sekadar lipsing tanpa hasil memadai. Pertama, mayoritas masjid dibangun oleh swadaya masyarakat. Masjid yang dibangun dari dana pemerintah biasanya hanya satu masjid agung di tingkat provinsi dan kabupaten, serta masjid-masjid kecil di instansi milik pemerintah. Selebihnya, masjid dibangun dari dana masyarakat, dimiliki yayasan atau ormas. Muhammadiyah, misalnya, memiliki sebanyak 11.198 masjid dan mushalla di seluruh Indonesia.

Ketua umum Dewan Masjid Indonesia, HM Jusuf Kalla (JK) mengungkapkan di Indonesia saat ini terdapat kurang lebih 850 ribu masjid. JK juga mengakui jika standardisasi khatib dan imam akan sulit karena masjid tidak dikelola pemerintah seperti di Arab Saudi atau Malaysia.
Alasan kedua, para khatib selama ini tidak mendapatkan gaji dan tunjangan dari pemerintah. Mereka mendapatkan honor sekadarnya dari pengurus masjid yang memanfaatkan jasa mereka, yang dibayarkan per datang hingga ada yang “dibayar” pertahun saat idul fitri dengan bingkisan sarung dan baju koko. Jumlah mubaligh seperti ini mencapai lima juta orang.

Selanjutnya, sertifikasi khatib justru menimbulkan kecurigaan, misalnya jika tidak diterapkan ke agama lain. Tidak sedikit pendakwah di agama selain Islam yang juga provokatif dan penuh caci-maki terhadap orang seagama tapi beda aliran dan pemeluk agama lain. Jika sebagian umat Islam merasa diintimidasi, bukan tidak mungkin sertifikasi khusus khatib ini akan kontraproduktif.

Sertifikasi pasti menuntut konsekwensi, seperti sertifikasi guru dengan iming-iming tunjangan. Sempat beredar kabar melalui media sosial bahwa pemerintah akan memberikan tunjangan, namun kabar ini segera dibantah oleh pihak Kemenag. Jika kemudian sekadar memberikan sertifikat melalui program-program pelatihan, efeknya pasti sangat kecil, kecuali hanya besar di anggaran. Justru akan lebih baik jika pemerintah membenahi apa yang suda ada, misalnya lewat pendidikan yang dikelola pemerintah.

Jika ingin melakukan sertifikasi profesi, akan lebih baik jika pemerintah mewacanakan uji kompetensi politisi. Pasalnya, mereka ini yang akan membuat kebijakan sekaligus mengeksekusinya.

Justru di ranah politik terjadi sejumlah hal yang anomali. Bayangkan saja, anggota DPR misalnya, dalam berbagai kesempatan menguji (fit and proper test) calon pejabat publik, tetapi mereka sendiri tidak pernah melakukan ujian apa pun saat akan mencalonkan diri, kecuali ujian mengeluarkan mahar.

Politisi juga digaji dan mendapat tunjangan dari kas negara, yang tentu berada di rantai tertinggi penerima manfaat dari negara. Tidak ada profesi yang mengusulkan sekaligus menyetujui gaji sendiri seperti mereka, terutama anggota DPR. Sangat ironis jika peran mereka yang vital tetapi seleksinya paling mudah, lebih gampang daripada masuk perguruan negeri sekalipun.

Standarisasi calon anggota DPR/DPRD, calon kepala daerah, calon menteri hingga calon presiden jelas lebih urgen. Bukankah kegaduhan di masyarakat selama ini juga sering dipicu oleh aksi-aksi mereka yang bengkok?

Jika wacana yang diuar-uarkan adalah standar kompetensi politisi, pasti semua masyarakat mufakat, yang menolak paling-paling hanya calon dan politisi sendiri. [rms]












Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :