Renyahnya Gorengan Isu Freeport


[tajuk-indonesia.com]         -          Selain kesejahteraan, isu seksi yang renyah untuk digoreng sebagai komoditas politik adalah soal pengelolaan sumber daya alam, dan induknya adalah PT Freeport, sebagai tambang emas terbesar di dunia.

Setakat ini, ramai di medsos desakan untuk mengambil alih Freeport. Padahal, yang ingin dilakukan pemerintah hanya renegosiasi kontrak. Pemerintah melalui Menteri ESDM Ignasius Jonan ingin mengubah status PT Freeport Indonesia dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) supaya bisa mengekspor konsentrat.

Jonan berang karena Freeport menolak, padahal tambang lain seperti PT Amman Mineral Nusa Tenggara menerimanya. Presiden dan CEO Freeport-McMoRan Inc Richard C. Adkerson mengatakan kontrak tidak bisa diubah dan diakhiri secara sepihak meskipun berdasarkan hukum dan peraturan perundangan yang diterbitkan kemudian.

Adkerson bahkan berani mengultimatum pemerintah dengan memberikan waktu 120 hari ke Joko Widodo untuk memutuskan  PT Freeport Indonesia kembali beroperasi dengan sistem KK atau soalan ini dibawa ke Badan Arbitrase Internasional.

"Hari ini Freeport tidak melaporkan ke arbitrase, tapi kami memulai proses untuk melakukan arbitrase," kata Richard Adkerson di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin, 20 Februari 2017.

Pernyataan Adkerson ini berbeda dari keterangan Jonan pada medium Januari bahwa akan ikut aturan pemerintah. "Kalau Freeport, tadi ngomongnya ikut, setuju," ujar Jonan.

Menurut keterangannnya, ekspor konsentrat tembaga Freeport terhenti sejak 12 Januari 2017.

Untuk diketahui, perbedaan paling mendasar antara kontrak karya dan IUPK berada pada proses perjanjian eksplorasi dan eksploitasi tambang. Pada kontrak karya, klausul perjanjian ditentukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proyek pertambangan. Sementara itu, dalam IUPK, pemerintah memiliki wewenang penuh untuk mengatur klausul dan memberikan izin kepada perusahaan pengelola tambang.

Pada 17 Februari 2017 Freeport telah mengirim surat kepada Jonan tersebut menjelaskan perbedaan pendapat antara Freeport dan pemerintah Indonesia mengenai operasi KK dan IUPK. Untuk menekan pemerintah, Freeport mengancam akan melakukan PHK massal puluhan ribu karyawan.

Dengan kontrak yang baru, Jonan juga meminta Freeport tak alergi dengan adanya ketentuan divestasi hingga 51 persen yang tercantum dalam perjanjian Kontrak Karya yang pertama antara perusahaan dan pemerintah Indonesia, serta juga tercantum dengan tegas dalam PP No. 1/2017. Dalam KK pada 1991, ada syarat divestasi saham 30 persen karena alasan pertambangan bawah tanah.

Presiden Jokowi menegaskan harus ada divestasi saham 51 persen supaya PT Freeport dapat bermitra dengan pemerintah. Upaya itu supaya jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta rakyat Papua, khususnya, juga ikut menikmati.
Kontrak dengan Freeport memang istimewa. Mantan Staf Khusus Menteri ESDM Muhammad Said Didu mengungkap lewat akun Twitternya bahwa kontrak dengan Freeport melibatkan DPR, hingga setara dengan UU. Ada kontrak dengan Freeport menyatakan bahwa kapan pun Freeport bisa minta perpanjangan dan pemerintah tidak bisa menghalangi tanpa alasan. Bahkan, Freeport masih punya hak minta perpanjangan sampai tahun 2041. Perjanjian inilah yang sangat mungkin membuat pihak Freeport sangat percaya diri.

Dalam cuitan Didu yang panjang, ada kesimpulan yang jelas bahwa terdapat tumpang tindih antara peraturan pemerintah soal minerba secara umum dengan kontrak yang sudah disepakati dengan Freeport sebelumnya.

Ruwetnya Freeport tak semudah yang dikira

Menteri Jonan tampak santai menanggapi ancaman laporan Freeport ke arbitrase internasional. Padahal, ada aturan di AS jika ada perusahaan tambang AS diperlakukan tidak adil di luar negeri, pemerintah akan turun tangan. Jadi, bukan Indonesia berhadapan dengan Freeport tapi dengan pemerintah AS.

Gugatan ganti rugi yang akan diajukan Freport diperkirakan mencapai sekitar Rp 500 trilyun. Tidak hanya menghadapi besarnya nilai gugatan, jika operasi Freeport mandek, ekonomi Mimika akan terpukul, termasuk Papua secara luas, belum lagi dampak sosial dari PHK massal. 

Saking besar dan berkilaunya nilai proyek ini, sangat banyak pihak yang bermain: mulai dari pembisik di DPR untuk memuluskan UU hingga kelompok-kelompok yang berebut proyek yang tidak kecil di sekitar Freeport. Sebutlah pengadaan bahan bakar, bahan peledak, batu bara, katering, serta alat-alat penunjang lainnya. Yang bermain di sini bukan orang Papua, tapi diduga orang-orang penting di lingkup kekuasaan,di Jakarta.

Persoalan Freeport tidak sesederhana yang orang bayangkan: dipaksa melego saham atau nasionalisasi. Kusutnya masalah ini adalah akumulasi dari kelambanan, ketidaktegasan, dan tentu saja kongkalikong peraturan dan kebijakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi—menjadi bukti betapa bahanya membiarkan laku korupsi.

Jokowi sendiri masih terlalu normatif menanggapi situasi ini, pastinya dia juga berpikir sangat keras. Menurutnya, jika tidak ada titik temu, maka dia akan segera mengambil sikap tegas. Akan tetapi sikap tegas seperti apa yang akan dia ambil, sayangnya tidak diperikan lebih lanjut.

Dari sikap Jokowi yang masih abu-abu ini, kecil kemungkinan ancaman divestasi saham terwujud, apalagi nasionalisasi seperti yang dikira para pegiat medsos—masih jauh panggang dari api. Terlalu banyak anasir yang menyebabkan nasionalisasi masih jauh.

Selain faktor dalam negeri, tambang Freport juga menjadi incaran pemain asing di luar AS, sebut saja Cina atau Jepang, yang pastinya setiap saat bisa masuk. Atau, malah Arab Saudi yang rajanya sebentar lagi menemui Jokowi dalam rombongan besar, siapa tahu? Pemerintah kita tidak akan sanggup membeli saham, kecuali mengeluarkan jurus utang luar negeri, keluar dari mulut buaya, masuk ke neraka.

Sejak bangsa merdeka, rezim berganti, Freeport tetap kokoh, lebih perkasa daripada mesin-mesin yang dengan rakus melubangi bumi Papua, yang jika punya nyawa pasti menjerit kesakitan. Orang sebenarnya lebih sibuk melihat Freeport ketimbang masyarakat Papua sendiri.

Setiap periode sebuah rezim, selalu muncul wacana nasionalisasi Freeport. Akan tetapi, hasil selalu nihil. Jika rezim kali ini berhasil dengan niatnya berupa perubahan kontrak karya dan divestasi saham Freeport, kita harus angkat topi, dan semoga itu untuk kepentingan negara, terutama, rakyat Papua, bukan sekadar komoditas politik, menyingkirkan pemain lama dalam sub-sub proyek, atau bagi-bagi saham oleh para konglomerat seperti kasak-kusuk dalam skandal Papa Minta Saham waktu itu. [rms]


















Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :