Prodem: Waspadai Insider Trading Papa Minta Saham Freeport Dari Tiongkok
[tajuk-indonesia.com] - Kepentingan politik yang terus bermain sejak PT. Freeport Indonesia (PTFI) beroperasi di tahun 1967 serta 'Sejarah Hitam Freeport' dalam jejak panjang kepentingan politik di Indonesia harus memang dituntaskan.
Apalagi pendapatan negara dari royalti satu persen untuk emas dan 1-3 persen untuk tembaga sangat kecil dan tidak dibanding dengan keuntungan PTFI yang bisa tembus di atas 20 triliun per tahun.
Sekretaris Jenderal Pro Demokrasi (Prodem), Satyo Purwanto memaparkan, pada awalnya PTFI mengajukan permohonan dan bersedia mengakhiri model Kontrak Karya (KK) yang sudah berumur 50 tahun dengan mengubahnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Tapi tidak lama setelah izin dipegang, PTFI langsung menuntut keistimewaan lain dengan menolak beberapa poin yang disyaratkan oleh pemerintah untuk pemberian izin yaitu terkait divestasi saham dan skema pajak yang dikenakan.
Ketidakjelasan masa depan Freeport dan kemungkinan buntunya negosiasi dengan pemerintah membuat perusahaan asal Amerika Serikat itu mengancam gugatan perselisihan di arbitrase internasional dan mem-PHK massal 32.200 karyawannya, serta memutus kontrak perusahaan subkontraktor yang bekerja di perusahaannya.
Menurut Satyo, keberanian dan kemauan pemerintah Jokowi mengubah rezim kontrak karya menjadi IUPK terhadap PTFI patut diapresiasi. Pemerintah juga bersemangat menasionalisasi Freeport dengan divestasi 51 persen saham.
"Akan tetapi apa benar demikian? Divestasi itu apakah steril dari aktor-aktor "papa minta saham"? Atau bagaimana setelah ini hadir PTFI dengan cita rasa Tiongkok?" tanya Satyo.
Justru ia menilai modus yang berbahaya adalah 'debt to equity swap" bila 51 persen saham itu dibeli oleh BUMN tapi dari hasil pinjaman ke Tiongkok. Ternyata BUMN gagal bayar kemudian sahamnya diambil alih dan tambang Freeport pun jadi milik Tiongkok, bukan milik Indonesia.
"Jika menjadi kenyataan pada suatu hari nanti perusahaan raksasa pertambangan emas tersebut berganti cita rasa maka kita semua paham dengan karakter investor Tiongkok yang akan juga membawa pekerja dari negara asalnya untuk mengisi seluruh level diperusahaan tersebut," lanjut Satyo.
Bila dugaan tersebut benar-benar terjadi, terang Satyo, maka kesimpulannya adalah IUPK dan Divestasi 51 persen saham hanya omong kosong.
"Tidak ada nasionalisasi, tidak ada kedaulatan dan kemandirian bagi bangsa Indonesia dan khususnya untuk masyarakat di Papua karena hanya akal-akalan Menko Maritim, Menko Perekonomian, Meneg BUMN, Ketua DPR RI," demikian Satyo. [rmol]
Menurut Satyo, keberanian dan kemauan pemerintah Jokowi mengubah rezim kontrak karya menjadi IUPK terhadap PTFI patut diapresiasi. Pemerintah juga bersemangat menasionalisasi Freeport dengan divestasi 51 persen saham.
"Akan tetapi apa benar demikian? Divestasi itu apakah steril dari aktor-aktor "papa minta saham"? Atau bagaimana setelah ini hadir PTFI dengan cita rasa Tiongkok?" tanya Satyo.
Justru ia menilai modus yang berbahaya adalah 'debt to equity swap" bila 51 persen saham itu dibeli oleh BUMN tapi dari hasil pinjaman ke Tiongkok. Ternyata BUMN gagal bayar kemudian sahamnya diambil alih dan tambang Freeport pun jadi milik Tiongkok, bukan milik Indonesia.
"Jika menjadi kenyataan pada suatu hari nanti perusahaan raksasa pertambangan emas tersebut berganti cita rasa maka kita semua paham dengan karakter investor Tiongkok yang akan juga membawa pekerja dari negara asalnya untuk mengisi seluruh level diperusahaan tersebut," lanjut Satyo.
Bila dugaan tersebut benar-benar terjadi, terang Satyo, maka kesimpulannya adalah IUPK dan Divestasi 51 persen saham hanya omong kosong.
"Tidak ada nasionalisasi, tidak ada kedaulatan dan kemandirian bagi bangsa Indonesia dan khususnya untuk masyarakat di Papua karena hanya akal-akalan Menko Maritim, Menko Perekonomian, Meneg BUMN, Ketua DPR RI," demikian Satyo. [rmol]