Mengapa Ahok Kerap Gagal Menyelamatkan Muka Orang?
[tajukindonesia.net] - Terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kembali memanaskan suasana dengan menanggalkan kesantunan di pengadilan. Sasarannya kali ini adalah Ketua MUI sekaligus Rais ‘Aam PBNU KH. Ma’ruf Amin.
Ditekan banyak pihak, terutama kalangan NU, Ahok pun akhirnya meminta maaf dalam sebuah video pendek yang tersebar melalui media sosial. Namun, yang akan kita cermati kali ini adalah bukan soal maafnya, tetapi perilaku Ahok yang mudah mengancam muka orang: rakyat jelata, PNS, politisi dan ulama—semua kalangan sudah merasakannya.
Linguis kenamaan Penelope Brown and Stephen Levinson (1987) menyebut jika prinsip kesantunan digunakan untuk menghindari tindakan mengancam muka—istilah muka diambil dari budaya Cina pada abad ke-19 dan dikenalkan di dunia akademik oleh Erving Goffman.
Dalam kehidupan sehari-hari, kesantunan adalah keahlian yang menjadi motor untuk meyakinkan semua pihak supaya merasa aman dalam interaksi sosial. Sebagaimana yang diutarakan banyak pihak, Ahok kurang memiliki keahlian ini.
Maka, jangan heran jika siapa pun yang berhadapan dengan Ahok bakal terancam mukanya, khususnya mereka yang secara sosial berjarak dengan dia. Sebab, kesantunan sangat terkait dengan hubungan jauh-dekat, juga status (sosial, pendidikan, ekonomi), yang di dalamnya pihak dengan status rendah atau hubungannya renggang disyaratkan menggunakan kaedah-kaedah kesantunan secara lebih.
Kesantunan adalah nilai universal; yang membedakan hanya detil dan bentuk kesantunannya. Sementara itu, ketidaksantunan adalah bagian dari kelancangan ‘effrontery’, yang tidak selajur dengan nilai sosial atau berkonfrontasi dengan norma.
Apa yang dipertontonkan Ahok selama ini, seperti, bermulut kotor (melanggar tabu, misalnya saat wawancara live dengan menyebut kotoran manusia), gemar menyerang secara terbuka (konfrontatif dengan lawan-lawan politik), tak sensitif dengan perasaan orang lain (maki-maki bawahan di depan umum) secara jelas menunjukkan bahwa Ahok mengidap cacat sosial.
Untuk menganalisis perilaku Ahok, ada beragam alasan mengapa orang menanggalkan prinsip kesantunan dan memilih lancang dalam bersikap. Pertama, dia digerakkan oleh keinginan untuk sintas ‘survival mode’, respons umum ketika seseorang terdesak.
Kedua, kurangnya ruang pribadi juga dapat menyebabkan orang berperilaku kasar. Hal ini misalnya dialami oleh orang-orang yang tinggal di lingkungan yang terlalu padat, yang biasanya secara lisan dan perilaku cenderung lebih kasar ketimbang mereka yang dari lingkungan lebih lega. Ahok bisa mengalami ini karena dia dikepung beragam kepentingan dari kanan-kiri; dia kesulitan membahagiakan dirinya sendiri, sebagai panggilan dari nuraninya.
Jika mengacu kepada buku On the Family karya John Bradshaw (1933-2016), apa yang dipertontonkan Ahok, dari kacamata psikologi, adalah akibat dari disfungsi keluarga. Salah satu ciri orang yang lahir dari keluarga disfungsi adalah ketidakmampuan mengendalikan emosi; dia belum sembuh dari luka-luka akibat pola asuh.
Sebagai sosok yang diamati publik, Ahok harus lebih bijak dalam bertutur dan berperilaku. Dia sudah harus berpikir untuk menjadi negarawan yang menginspirasi, bukan sekadar petarung politik dan perebut kekuasaan.
Menjadi politisi tidak hanya bertanggung jawab terhadap masalah politik, tetapi juga pendidikan bagi generasi bangsa. Apa pun yang dipertontonkannya akan ditiru oleh generasi yang melihatnya, yang tentu saja ini tak elok jika diterus-teruskan. Oleh karena itu, Ahok wajib melakukan penyembuhan apabila ingin negara dalam keadaan damai dalam koridor kesantunan. [rms]
Apa yang dipertontonkan Ahok selama ini, seperti, bermulut kotor (melanggar tabu, misalnya saat wawancara live dengan menyebut kotoran manusia), gemar menyerang secara terbuka (konfrontatif dengan lawan-lawan politik), tak sensitif dengan perasaan orang lain (maki-maki bawahan di depan umum) secara jelas menunjukkan bahwa Ahok mengidap cacat sosial.
Untuk menganalisis perilaku Ahok, ada beragam alasan mengapa orang menanggalkan prinsip kesantunan dan memilih lancang dalam bersikap. Pertama, dia digerakkan oleh keinginan untuk sintas ‘survival mode’, respons umum ketika seseorang terdesak.
Kedua, kurangnya ruang pribadi juga dapat menyebabkan orang berperilaku kasar. Hal ini misalnya dialami oleh orang-orang yang tinggal di lingkungan yang terlalu padat, yang biasanya secara lisan dan perilaku cenderung lebih kasar ketimbang mereka yang dari lingkungan lebih lega. Ahok bisa mengalami ini karena dia dikepung beragam kepentingan dari kanan-kiri; dia kesulitan membahagiakan dirinya sendiri, sebagai panggilan dari nuraninya.
Jika mengacu kepada buku On the Family karya John Bradshaw (1933-2016), apa yang dipertontonkan Ahok, dari kacamata psikologi, adalah akibat dari disfungsi keluarga. Salah satu ciri orang yang lahir dari keluarga disfungsi adalah ketidakmampuan mengendalikan emosi; dia belum sembuh dari luka-luka akibat pola asuh.
Sebagai sosok yang diamati publik, Ahok harus lebih bijak dalam bertutur dan berperilaku. Dia sudah harus berpikir untuk menjadi negarawan yang menginspirasi, bukan sekadar petarung politik dan perebut kekuasaan.
Menjadi politisi tidak hanya bertanggung jawab terhadap masalah politik, tetapi juga pendidikan bagi generasi bangsa. Apa pun yang dipertontonkannya akan ditiru oleh generasi yang melihatnya, yang tentu saja ini tak elok jika diterus-teruskan. Oleh karena itu, Ahok wajib melakukan penyembuhan apabila ingin negara dalam keadaan damai dalam koridor kesantunan. [rms]