Manis di Bibir Ahok dan Jokowi Soal Banjir


[tajuk-indonesia.com]       -        Jakarta kembali diserang musibah langganan, yakni banjir, yang memaksa sebagian warga terpaksa harus mengungsi.

Banjir memang tak tahu malu. Tak diharap dan diundang, tapi masih saja datang dan diam dalam waktu yang hanya dia sendiri yang tahu kapan. Padahal, para politisi, yang berwenang mengurusnya, kerap mengobral janji bahwa bencana itu tidak akan mampir lagi.

Akhir pekan lalu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjamin banjir di wilayah Jakarta sekarang tidak akan lebih dari 12 jam, bahkan 3-4 jam bisa lenyap.

“Tapi saya jamin tidak lebih dari 12 jam, tiga sampai empat jam surut,” ujar Ahok di Balai Kota, Jumat (17/2)

Pendahulu Ahok yang kini duduk di kursi RI 1, Joko Widodo juga sempat sesumbar bahwa permasalahan banjir (sekaligus kemacetan) di Jakarta akan mudah teratasi jika dia menjadi presiden. Sebab, katanya, presiden akan mudah mengatur dan memerintahkan kepala daerah di kawasan Jabodetabek untuk bekerja sama.

Jokowi menilai, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak akan bisa menanggulangi kemacetan dan banjir tanpa bantuan daerah lain karena salah satu sumber penyebab terjadinya dua masalah klasik Jakarta tersebut juga berasal dari daerah-daerah penyangganya.
“Seharusnya lebih mudah (mengatasi kemacetan) karena kebijakan transportasi itu harusnya tidak hanya Jakarta, tapi juga Jabodetabek. Itu seperti halnya dengan masalah banjir. Banjir tidak hanya masalah Jakarta karena 90 persen air yang menggenangi Jakarta itu justru berasal dari atas (Bogor). Semua pengelolaan 13 sungai besar yang ada di Jakarta juga semuanya kewenangan pemerintah pusat,” papar Jokowi di Balaikota Jakarta, Senin (24/3/2014).

Sebelum Jokowi, Fauzi Bowo malah mengaku ahli atasi banjir, tapi sampai hari ini kosakata banjir masih ramai berkolokasi dengan Jakarta dalam sebuah frase.

Kampanye memang harus menyasar problem pokok sebuah wilayah, yang tema umumnya biasanya kesejahteraan (jika pendengarnya rakyat jelata), kemudahan perizinan dan investasi (apabila berhadapan dengan pengusaha), atau macet dan banjir untuk daerah perkotaan padat seperti Jakarta.
Pada film Our Brand is Crisis (2015), salah satu tokoh utama bernama Jane Bodine (diperankan Sandra Bullock) dalam sebuah dialog mengatakan, “That’s the world, that’s politics. That’s how it works. It starts out with big promises and ends up with jackshit happening.” (Begitulah dunia, seperti itulah politik. Itulah cara kerjanya. Politik berawal dari janji-janji muluk dan berakhir tanpa hasil apa pun).

Jane melanjutkan, “But like the man said: ‘If voting changed anything, they’d make it illegal’.” (Tapi, seperti yang orang katakan: ‘seumpama pemilu akan mengubah segalanya, mereka akan membuatnya ilegal)

Film yang disutradari David Gordon Green itu memotret pilpres di Bolivia yang menghadirkan konsultan politik asal AS Jane Bodine. Film ini diklaim berangkat dari kisah nyata.

Para politisi seharusnya berhenti beraksi laiknya badut di atas panggung sirkus. Jika berjanji, seharusnya ada target kapan implementasinya sekaligus menyebutkan apa konsekwensi apabila gagal. Seandainya janji-janji kampanye hanya keluar begitu saja tanpa perencanaan dan rincian, mereka tak ubahnya penjual obat linu keliling yang sering menjanjikan kesembuhan; padahal, obat hanya berisi pereda rasa nyeri. [gema]















Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :