Gaduh karena Dewan Pers
[tajukindonesia.net] - Berseragam warna biru dengan logo kepala elang, pria berambut ikal itu terdiam. Sesekali kepalanya mengangguk mendengarkan penjelasan orang di hadapannya.
"Pers harus menjunjung tinggi kebenaran, kebenaran, kebenaran," kata orang dengan logat khas daerah Sumatera Utara pada akhir 2014 di salah satu ruang Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
Pria berseragam biru itu datang mewakili MetroTVnews, dan dia tidak sendiri. Ada lima orang lain perwakilan media yang hari itu "disidang" anggota Dewan Pers untuk mengklarifikasi keberatan atas pemberitaan yang melibatkan sekolah bertaraf internasional. Mereka silih berganti memberikan penjelasan sesuai waktu yang diberikan 'Yang Mulia' pimpinan sidang mediasi itu. Tapi perwakilan MetroTVnews terlihat bingung karena dia tak diberi kesempatan berbicara hingga sidang hampir usai.
"Maaf Anda dari mana," tanya seorang anggota Dewan Pers.
"Saya dari MetroTVnews," jawab pria berambut ikal itu.
Anggota Dewan Pers itu membolak-balik kertas. Dia kebingungan karena tidak ada nama MetroTVnews dalam laporan yang diterima Dewan Pers.
"Maaf tidak ada nama MetroTVnews," katanya.
"Lho kami menerima surat panggilan dari Dewan Pers," jawab wakil MetroTVnews sambil menunjukkan amplop berwarna coklat berisi undangan mediasi dari Dewan Pers.
Sesaat kemudian, anggota dewan itu kembali sibuk membolak-balik kertas. "O maaf Pak, ternyata metro.sindonews.com, bukan MetroTVnews. Maaf Pak, maaf, tapi tidak apa-apa ya sudah hadir, sekalian buat pembelajaran dan pengetahuan. Jadi tahu kan mekanisme sidang mediasi di Dewan Pers?," kata anggota dewan pers itu sambil tertawa.
Perwakilan MetroTVnews itu hanya diam sambil memakai jaketnya dan kemudian ke luar ruangan.
Itu hanyalah sepotong cerita dewan pers yang salah memanggil terlapor.
Sabtu pekan lalu, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo membuat gaduh gara-gara surat undangan yang ditujukan ke sejumlah pemimpin perusahaan pers. Dalam surat itu dia mengundang, 74 media yang, menurut Dewan Pers, telah terverifikasi untuk hadir dalam acara penandatanganan "Komitmen Ambon" dan penyerahan sertifikat terverifikasi yang akan disaksikan oleh Presiden Joko Widodo di Ambon, Maluku, 9 Februari 2017 bersamaan dengan perayaan Hari Pers Nasional. Tulisan terverifikasi dalam undangan itu ditulis dengan huruf kapital: TERVERIFIKASI.
Sehari setelah disebar, undangan itu kemudian dikutip oleh sejumlah media dan menjadi berita: 74 media sudah terverifikasi oleh Dewan Pers. Dalam pernyataan pers yang dikeluarkan kemarin, Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Perusahaan Pers Dewan Pers, Ratna Komala, menyebutkan, jumlah 74 media merupakan tahap awal program verifikasi oleh Dewan Pers dan akan menerima sertifikasi pada puncak perayaan HPN. Tapi, pada tanggal itu, jumlah media yang terverifikasi bertambah tiga menjadi 77 media.
Nantinya, sebagai tanda bagi media cetak dan media online yang sudah terverifikasi, Dewan Pers akan memberikan logo yang di dalamnya ada QR code yang bila dicek menggunakan ponsel pintar yang tersambung ke basis data Dewan Pers yang berisi data perusahaan yang bersangkutan. Sementara, untuk media televisi dan radio akan dipasang bumper in dan bumper out yang mengapit program berita yang ditayangkan.
Beredarnya daftar media yang telah terverifikasi oleh Dewan Pers, tentu menuai kritikan. Pekerja media alternatif dari MRB (Media Rakyat Baru) mrb-media.com, Kristian Ginting, menyebut pemberian kode verifikasi itu menunjukkan adanya indikasi kemunduran kebebasan pers. Ginting mengatakan kebijakan Dewan Pers itu sama saja membatasi berkembangnya media massa di luar media arus utama atau mainstream media.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen Medan, Agoes Perdana dalam siaran persnya, juga menyesalkan verifikasi terhadap media yang ditetapkan oleh Dewan Pers. Agoez khawatir verifikasi tersebut menjadi celah bagi pemerintah melakukan pembredelan gaya baru kepada media.
Kritikan itu membuat Dewan Pers kelimpungan dan kemudian mengklarifikasi pemberitaan tentang daftar media terverifikasi.
Ratna mengatakan Dewan Pers belum merilis resmi media yang dinyatakan lolos verifikasi. Apalagi, soal pernyataannya yang menyebutkan bahwa Dewan Pers meminta instansi pemerintah tidak melayani media yang tidak terverifikasi. Itu, kata Ratna, bohong, pemberitahuan tersebut tidak memiliki kop surat. Hoax.
Ratna menjelaskan alasan Dewan Pers baru mengeluarkan 74 media. Kata dia jumlah tersebut merupakan media di bawah 17 CEO perusahaan media yang pada tahun 2010 ikut menandatangani Piagam Palembang. Menurutnya, butuh waktu sekitar dua tahun untuk merampungkan verifikasi media.
Sampai di sini agak jelas, tapi bantahan Dewan Pers itu, tidak serta merta mengikis opini sebagian masyarakat awam yang terlanjur menilai hanya ada 74 media yang terverifikasi. Bila, opini masyarakat telah terbentuk, Dewan Pers akan kesulitan memulihkan nama media-media di luar 74 media terverifikasi yang terlanjur dicap sebagai media, seperti istilah yang pernah digunakan Jokowi Deesember 201, media abal-abal. [rms]
Sehari setelah disebar, undangan itu kemudian dikutip oleh sejumlah media dan menjadi berita: 74 media sudah terverifikasi oleh Dewan Pers. Dalam pernyataan pers yang dikeluarkan kemarin, Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Perusahaan Pers Dewan Pers, Ratna Komala, menyebutkan, jumlah 74 media merupakan tahap awal program verifikasi oleh Dewan Pers dan akan menerima sertifikasi pada puncak perayaan HPN. Tapi, pada tanggal itu, jumlah media yang terverifikasi bertambah tiga menjadi 77 media.
Nantinya, sebagai tanda bagi media cetak dan media online yang sudah terverifikasi, Dewan Pers akan memberikan logo yang di dalamnya ada QR code yang bila dicek menggunakan ponsel pintar yang tersambung ke basis data Dewan Pers yang berisi data perusahaan yang bersangkutan. Sementara, untuk media televisi dan radio akan dipasang bumper in dan bumper out yang mengapit program berita yang ditayangkan.
Beredarnya daftar media yang telah terverifikasi oleh Dewan Pers, tentu menuai kritikan. Pekerja media alternatif dari MRB (Media Rakyat Baru) mrb-media.com, Kristian Ginting, menyebut pemberian kode verifikasi itu menunjukkan adanya indikasi kemunduran kebebasan pers. Ginting mengatakan kebijakan Dewan Pers itu sama saja membatasi berkembangnya media massa di luar media arus utama atau mainstream media.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen Medan, Agoes Perdana dalam siaran persnya, juga menyesalkan verifikasi terhadap media yang ditetapkan oleh Dewan Pers. Agoez khawatir verifikasi tersebut menjadi celah bagi pemerintah melakukan pembredelan gaya baru kepada media.
Kritikan itu membuat Dewan Pers kelimpungan dan kemudian mengklarifikasi pemberitaan tentang daftar media terverifikasi.
Ratna mengatakan Dewan Pers belum merilis resmi media yang dinyatakan lolos verifikasi. Apalagi, soal pernyataannya yang menyebutkan bahwa Dewan Pers meminta instansi pemerintah tidak melayani media yang tidak terverifikasi. Itu, kata Ratna, bohong, pemberitahuan tersebut tidak memiliki kop surat. Hoax.
Ratna menjelaskan alasan Dewan Pers baru mengeluarkan 74 media. Kata dia jumlah tersebut merupakan media di bawah 17 CEO perusahaan media yang pada tahun 2010 ikut menandatangani Piagam Palembang. Menurutnya, butuh waktu sekitar dua tahun untuk merampungkan verifikasi media.
Sampai di sini agak jelas, tapi bantahan Dewan Pers itu, tidak serta merta mengikis opini sebagian masyarakat awam yang terlanjur menilai hanya ada 74 media yang terverifikasi. Bila, opini masyarakat telah terbentuk, Dewan Pers akan kesulitan memulihkan nama media-media di luar 74 media terverifikasi yang terlanjur dicap sebagai media, seperti istilah yang pernah digunakan Jokowi Deesember 201, media abal-abal. [rms]