Transisi Adidaya Dari AS ke Cina


[tajukindonesia.net]        -         Kemunculan sosok kontroversial Donald Trump sebagai presiden dinilai sejumlah pihak akan menandai transisi negara adidaya dunia dari Amerika Serikat ke Cina.

Sejumlah anasir tersebut mengemuka tidak hanya karena melambungnya kekuatan militer dan ekonomi Cina, tetapi peran stretegis dalam bidang ekonomi dan geopolitik yang secara perlahan dikukuhkan negara komunis itu.

Pertama adalah kedatangan pertama kali Presiden Cina Xi Jinping di Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, pada 23-25 Januari.  Kehadiran Jinping menandai semakin meningkatnya peran global Cina.

Kehadiran Presiden Xi di hadapan para pemimpin politik, bisnis dan bankir dunia tak bisa dilepaskan dari keraguan peran Amerika Serikat pada kerjasama multilateral dalam perdagangan dan perubahan iklim menyusul terpilihnya Donald Trump.

Tidak hanya itu, kini Eropa sendiri sedang dililit masalahnya sendiri, mulai dari Brexit sampai serangan para militan dan rangkaian hasil Pemilu yang dimenangkan para politisi populis penentang globalisasi. Situasi ini dinilai menciptakan kekosongan pada globalisasi yang mendorong Cina untuk mengisinya.

Jadi, bukan kebetulan jika Xi memilih tahun ini untuk melakukan perjalanan menaiki tangga adidaya.
Kehadiran Xi diakui oleh Pendiri WEF Klaus Schwab sebagai pertanda telah bergesernya dunia unipolar yang didominasi AS menjadi sistem yang lebih multipolar yang akan menaikkan kuasa negara-negara seperti Cina untuk memainkan peran lebih besar.

Di sini kehadiran X sangat sembolik untuk menunjukkan kedigdayaan Cina. Globalisasi telah memberi manfaat lebih besar bagi Cina dibandingkan negara lain di dunia. Di saat Amerika Serikat (AS) menarik diri dari perjanjian perdagangan bebas, Xi justru aktif mengkampanyekan posisi Cina sebagai mitra dagang terbaru yang ramah bagi dunia.

Pertemuan Davos juga menjadi ajang diplomasi Cina untuk meyakinkan dunia bahwa kebangkitan Cina adalah hal baik bagi semua orang.

Kedua, momentum pergeseran kekuatan adidaya dunia ditandai oleh mundurnya AS dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). TPP, yang didirikan pada 2013, sengaja digambarkan sebagai perjanjian "berstandar tinggi" yang diarahkan untuk menangani masalah perdagangan abad ke-21. Saat ini, anggota TPP adalah Australia, Brunei, Chili, Kanada, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, Amerika Serikat, dan Vietnam.

Negara penting dalam TPP, Australia mengundang secara khusus Cina untuk bergabung. Bahkan, Jepang dan Selandia Baru dikabarkan tak keberatan dipimpin Cina.

Perdana Menteri Australia, Malcolm Turnbull mengatakan tidak ada kerugian dari mundurnya AS, terlebih jika Cina bergabung.

Mundurnya AS dan ajakan Australia kepada Cina untuk bergabung akan membuat perang dagang antara timur dan barat semakin ketat. TPP yang tadinya dibentuk untuk mengimbangi dominasi perdagangan Cina, justru akan membentuk aliansi dagang raksasa oleh Cina untuk melawan dominasi AS selama ini. Hal itu terjadi jika Cina menerima tawaran untuk bergabung.

Peran sentral Cina di lembaga-lembaga strategis seperti WEF di Eropa dan TPP di Asia-Pasifik menjadi pertanda bahwa pelan tapi pasti, negara adidaya kini mulai berpindah tangan. [rms]
















Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :