Tragedi Lama..Malari 1974: gagalnya gerakan mahasiwa
[tajukindonesia.net] PENGANTAR: Tanggal ini, 15 Januari, 43 tahun yang lalu, Jakarta diguncang huru-hara. Demonstrasi mahasiswa yang semula hanya menolak modal asing dan keterlibatan para cukong, belakangan meminta Soeharto mundur sebagai presiden. Belasan orang tewas, ratusan ditangkap, sejumlah tempat di Jakarta menjadi arang. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari atau Malari 1974 itu, belakangan memunculkan isu adanya perebutan pengaruh di antara jenderal. Ujung-ujungnya sejumlah jenderal mengundurkan diri atau dicopot, dan pemerintah melakukan penataan intelijen. Aksi mahasiswa itu bukan hanya dinilai gagal, tapi juga berujung pada dimulainya tindakan represif dari rezim Orde Baru. Berikut ini adalah catatan Rimanews dari berbagai buku dan sumber tentang Malari 1974.
Rimanews – “Tangkap Hariman Siregar.” Perintah itu diberikan oleh Pangkopkamtib/Wapangab, Jenderal Soemitro kepada wakilnya, Laksamana Madya Soedomo, beberapa saat setelah Soemitro mendapat laporan, Pasar Senen dan Glodok terbakar. Hari itu, 15 Januari 1974, Jakarta memang rusuh menyusul aksi mahasiswa yang awalnya hanya menolak kedatangan PM Tanaka dari Jepang dan berkembang menjadi aksi menolak pemerintah. Mendengar perintah itu, Soedomo berusaha menenangkan atasannya.
“Jangan Pak.”
“Tidak bisa. Mereka bukan anak kecil. Mereka harus bertanggung jawab.Tidak boleh ada calon pemimpin cuci tangan. Saya tidak suka pada orang yang mau cuci tangan.”
Dialog antara Soemitro dan Soedomo itu tertulis di buku “Soemitro dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib” (Pustaka Sinar Harapan, 1994).
Menurut Soemitro, dia marah karena Hariman Siregar, yang saat itu menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia dianggap menyalahi komitmen perjanjian dengannya. Sebelumnya, dia sudah berusaha mengajak mahasiswa berdialog, tapi mereka menolak dan menginginkan dialog jalanan. Tapi menurut Hariman yang juga dikutip di buku Soemitro, dia dan teman-temannya tidak bermaksud melakukan aksi-aksi pengrusakan. “Bukan itu tujua saya,” katanya.
Setelah kerusuhan terjadi, Soemitor benar-benar menangkap Hariman. Dia bersama Syahrir, rekannya di UI, dan Aini Chalid dari UGM, Yogyakarta dipenjara. Dalam persidangan 21 Desember 1974, hakim PN Jakarta Pusat B.H. Siburian menjatuhkan hukuman 6,5 tahun penjara kepada Hariman. Hakim lain, Anton Abdurrahman Putra menjatuhkan vonis serupa kepada Syahrir. Sedangkan Aini divonis 2 tahun 2 bulan. Tapi Hariman hanya dibui kurang dari tiga tahun, Syahrir empat tahun. Belakangan, Ketua Mahkamah Agung (saat itu) Oemar Seno Adji memutuskan menghentikan penahanan atas Hariman. Jaksa Agung Ismail Saleh menggunakan hak oportunitas untuk mengesampingkan perkara dengan alasan kepentingan umum.
“Saya dianggap merongrong kewibawaan negara,” kata Hariman dalam sebuah wawancara dengan majalah Tempo. Dia memang membayar kelewat mahal. Saat menghuni hotel prodeo, ayahnya meninggal, istri tercintanya sakit, dan anak kembarnya meninggal.
Sebetulnya, jumlah orang yang ditangkap setelah Malari 1974 mencapai 774 orang termasuk mahasiswa. Para mahasiswa yang ikut ditangkap antara lain, Judilherry Justam, Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo, Eko Jatmiko, Jesse A Monintja, Remy Leimena, Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien, dan jurnalis Mochtar Lubis. Dalam sebuah diskusi buku “Massa Misterius Malari” di Jakarta, dua tahun lalu, terungkap banyak di antara yang ditangkap dibebaskan pada Oktober 1974, setelah menjalani penahanan selama berbulan-bulan. Satu mahasiswa ITB bernama rene Conrad, tewas.
Malari 1974 adalah aksi mahasiswa besar-besaran yang pertama sejak 1965. Awalnya mereka menolak campur tangan pemodal asing terutama Jepang, korupsi, dan kongkalikong dengan cukong. Belakangan, aksi itu merambat pada sentimen anti-pemerintah.
Dalam bukunya, Soemitro mencatat beberapa spanduk yang dibuat oleh para mahasiswa. Antara lain spanduk “Bubarkan Aspri”, “Biankie, Biangkoen dalam cukong”, “Soedjono Hoemardani Dalang Makelar Politik”, “Cukong Membahayakan Stabilitas”, Ali Murtopo Calo Politik”, “Jepang Merusak Indonesia”, dan lain-lain. “Itu menunjukkan kebencian mereka,” kata Soemitro.
Tapi dampak dari Malari 1974 adalah pembungkaman aksi mahasiswa. Hariman dipersalahkan setelah sebelumnya juga dipersalahkan oleh kelompok Centre for Strategic and International Studies atau CSIS. Dalam sebuah artikel di Konfrontasi.com disebutkan, Hariman menjadi ketua Dewan Mahasiswa UI berkat kedekatannya dengan CSIS yang berkantor di Tanah Abang. Mayor Jenderal Ali Murtopo menjadi pelindung lembaga ini. Belakangan, Hariman dianggap mulai melenceng dari garis Tanah Abang dan dituding dekat dekat dengan Group Diskusi Universitas Indonesia dan kelompok PSI yang reperesentasinya di kampus antara lain dikaitkan dengan aktivis di Fakultas Ekonomi Sjahrir dan Dorodjatun Kuntjoro Jakti.
Hariman dicurigai terkait dengan kelompok berkonotasi PSI itu, terlebih lagi, dia menikahi anak Prof Sarbini Somawinata yang dikenal sebagai ekonom beraliran PSI garis keras. Selain itu Hariman dianggap melakukan pengkhianatan ketika menyerahkan posisi Sekjen DMUI kepada Judil Herry dari HMI dan bukan kepada tokoh mahasiswa yang dikehendaki Tanah Abang.
Beberapa bulan setelah Malari 1974, pemerintah kemudian melakukan banyak tindakan represif ke kampus-kampus. Selain oleh tentara, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mayjen Sjarif Thajeb yang diangkat setelah peristiwa Malari juga melakukan banyak tekanan. Tindakannya kemudian menjadi mode bagi penguasa dalam menghadapi kampus hingga tahun 1978. Puncaknya berupa pendudukan kampus yang berani “melawan” Soeharto seperti ITB dan beberapa perguruan tinggi lainnya di seluruh Indonesia, oleh kesatuan-kesatuan tentara di tahun 1978.
Sjarif Thajeb, yang pernah menjabat Menteri Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan di kabinet transisi Soekarno pada tahun 1965-1966, semula sempat menjadi “harapan” para mahasiswa, mengingat jejak rekamnya pernah ikut menyokong lahirnya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), gerakan mahasiswa yang menjadi ujung tombak penggulingan rezim Soekarno. Tapi belakangan, dia sering melontarkan kata-kata keras yang menekan mahasiswa di berbagai pertemuan. Berkali-kali dia sempat bersitegang dengan para mahasiswa.
Mahasiswa lantas hanya menjadi sekelompok kaum intelektual yang hanya patuh mengikuti perkuliahan dan berbagai kegiatan sosial. Tidak ada yang lain. Tidak ada yang bisa mereka lakukan. Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah kemudian menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) di seluruh Indonesia untuk meredam kekritisan mahasiswa, lewat beleid yang dikeluarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Jusuf, No.0156/U/1978.
Lewat beleid itu, pemerintah mengarahkan mahasiswa hanya pada kegiatan akademik dan menjauhkan mereka dari aktivitas politik. Lewat Pangkopkamtib, Soedomo,pemerintah membubarkan Dewan Mahasiswa lewat SK Menteri P7K No.037/U/1979. Sebagai gantinya, organisasi mahasiswa yang diizinkan hanya pada tingkat fakultas seperti senat mahasiswa fakultas atau badan perwakilan mahasiwa fakultas. Rektor dan pembantu rektor kemudian memiliki kekuasaan untuk menentukan kegiatan mahasiswa.
Dalam wawancara dengan TimesIndonesia, Prof Dr Hariyono, Guru Besar Sejarah Politik Universitas Negeri Malang menjelaskan, pasca Malari 1974, kekuatan mahasiswa praktis semakin melemah.
"Setelah Malari praktis tidak ada aksi besar dari mahasiswa karena pemerintah semakin represif, hanya peristiwa 1978, kemudian setelah itu relatif 'sepi', tidak ada lagi gelombang protes besar-besaran terhadap pemerintah hingga tahun 1998 ketika Orde Baru runtuh," jelas Hariyono. [rnws]