Semoga Menteri Enggar Cuma Keseleo Lidah
[tajukindonesia.net] PERNYATAAN Enggartiasto
Lukita, Menteri Perdagangan RI, tentang kelangkaan cabe dan harganya yang
mahal, memaksa saya berkali-kali membacanya di detik.com.
Seandainya yang mengutip
pernyataan itu media internet yang masuk kategori abal-abal”, saya tak akan
tertarik membacanya dengan cara seperti itu.
Seusai membaca dan menyimak, ingin
mengkonfirmasinya langsung. Karena saya punya nomor HP Menteri Enggar, yang
sudah terekam di database lebih dari 20 tahun.
Tapi keinginan itu saya urungkan. Karena saya
pikir, Menteri Enggar yang sibuk, bakal tak meresponsnya.
Maklum setelah Enggar diangkat menjadi Menteri
Perdagangan pada minggu kedua Agustus 2016 lalu, pesan apapun yang dikirim
kepadanya, tak pernah dibalasnya lagi. Ia mendadak sangat sibuk.
Ucapan "selamat" menyambut
pengangkatannya sebagai Menteri menggantikan Rachmat Gobel, tak sempat
dibalasnya.
Enggar sebagai sahabat lama, dengan jabatan baru
Pembantu Presiden, agaknya berubah dan memilah siapa sahabat yang sangat
penting, cukup penting dan tak penting.
Dugaan saya begitu. Karena sekitar sebulan sebelum
diangkat jadi Menteri, kami masih sempat bersua di sebuah acara buka puasa
bersama dengan beberapa politisi Golkar. Diantaranya Bobby Suhardiman, Ny.
Sylvia Angraini yang suaminya sahabat Enggar di gerakan mahasiswa. Kami masih
sempat "haha-hihi".
Ketika itu, belum ada "gap" dalam
perkawanan kami.
Tapi kalau dipikir-pikir ada baiknya juga tidak
terjadi komunikasi langsung dengan politisi Nasdem tersebut.
Sebab bisa jadi Menteri Enggar tak akan senang bila
dikritik, bahwa pernyataannya tentang kelangkaan cabe dan harga super duper
mahal tersebut, sangat tidak patut.
Pagi tadi saya menyertai istri ke pasar. Antara
lain untuk mengecek apa benar semua bahan kebutuhan pokok melonjak gila-gilaan.
Apalagi cabe.
Dan yang menjadi persoalan, sekalipun harga sudah
naik, barangnya belum tentu tersedia.
Bukan tidak percaya, tetapi hanya untuk
menghayati-sejauh mana kepusingan yang dirasakan seorang ibu rumah tangga
menghadapi kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Sementara laki-laki atau
suami, biasanya tidak pernah ambil pusing soal harga di pasar.
Sebelum ke pasar, saya masih sempat bercanda.
"Tidak apa-apa Ma. Semua barang kebutuhan
pokok boleh naik. Yang penting kan uang belanja Mama tidak naik".
Tapi candaan itu malah membuat percakapan pagi
sewaktu sarapan, berubah serius. Seolah saya tidak peduli dan peka.
Selain itu, ketertarikan melakukan pengecakan ke
lapangan dipicu oleh sebuah diskusi Desember lalu.
Kenaikan harga sembilan bahan pokok yang
gila-gilaan, sempat diangkat di forum Refleksi 2016 oleh Persatuan Alumni
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, akhir Desember 2016.
Seorang ibu peserta menyebut, tak masuk akal
dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Mulai dari cabe, telur, daging dan
sebagainya. Hanya saja karena peserta Refleksi itu semuanya laki-laki, keluhan
ibu peserta itu tidak ada gaungnya.
"Kita punya lahan yang begitu luas. Tetapi
untuk urusan cabe saja kita tidak bisa berswasembada", katanya.
Pasar tradisional yang saya datangi, belum tentu
mewakili pasar seluruh Jakarta apalagi Indonesia. Tetapi sebagai random, apa
yang dikeluhkan oleh istri ternyata sudah menjadi keluhan semua ibu rumah
tangga. Termasuk para pedagang sendiri.
Bahkan kedengarannya lucu, ketika mengikuti
percakapan polos ibu-ibu di tengah pasar yang sibuk dengan tawar menawar.
Para pembeli misalnya mengeluh kenapa harga cabe
begitu mahal. Lima biji cabe harganya Rp. 10 ribu. Pembelian pun ditakar.
Tetapi sebaliknya para pedagang juga bertanya hal
yang sama kepada pembeli.
Namun yang paling mengejutkan, reaksi ibu-ibu
terhadap pernyataan Menteri Enggar. Bahwa kalau tidak mau membeli harga cabe
mahal, yah tanam saja cabe di rumah sendiri.
Mungkin maksud Menteri Enggar baik. Maksudnya
ditujukan kepada mereka yang rumahnya punya pekarangan. Seperti yang punya
rumah di kawasan Pondok Indah. Tapi yang merasa terkena atau lebih tepat
disebut tersakiti, mereka yang tinggal di rumah tanpa pekarangan.
Apalagi warga yang punya rumah dan masih punya
lahan sudah sangat sedikit jumlahnya.
Namun bagi ibu-ibu di pasar, inilah justru yang
mereka anggap sebagai pernyataan dari seorang Pembantu Presiden yang tidak
bertanggung jawab. Menteri yang tidak menghayati persoalan rakyat banyak.
Atau seperti istilah di media sosial, netizen yang
PB atau BP. Pintar Baru atau Baru Pintar.
"Apa dia lupa (maksudnya Menteri Enggar),
rumah di Jakarta ini rata-rata tidak punya halaman. Lalu mau tanam di mana? Di
pot bunga?"
"Apa dia tahu yang butuh cabe itu kan ibu-ibu
rumah tangga yang suami mereka bukan pejabat?"
"Kalau begitu suruh saja mereka yang tinggal
di rumah susun, yang tidak punya lahan, bercocok tanam cabe di pot-pot
bunga", begitu cara para ibu melampiaskan kekesalan kepada Menteri Enggar.
Sesungguhnya cukup panas kuping mendengar sergahan
para ibu di pasar. Karena yang mereka semprot, seorang Menteri yang ketika
masih sebagai rakyat biasa, pernah menolong saya.
Ketika Enggar sebagai Ketua REI 27 tahun lalu,
saya mendapatkan kredit rumah yang diskonnya sangat besar, dari properti
miliknya.
Semakin panas kuping mendengar celotehan para ibu.
Sebab ada yang ikut nimbrung. Bahwa esok lusa atau
pekan depan, bulan berikutnya, bakal ada pernyataan pembantu Presiden yang
meniru Menteri Enggar.
Misalnya kalau tidak mau harga daging mahal, yang pelihara
saja sapi di rumah.
Kalau rakyat mengeluh harga telur mahal, bilang
saja solusinya: pelihara saja ayam di rumah. Kalau tidak mau harga ikan mahal,
yah buat saja kolam ikan di rumah. Dan seterusnya.
Satu hal yang membekas dari tanggapan ibu-ibu di
pasar, merupakan sebuah pembelajaran. Siapa pun pejabat kita-terutama yang
bergender laki-laki, jangan pernah boleh menyederhanakan persoalan yang
dihadapi oleh ibu-ibu rumah tangga.
Jangan pernah berpikir, ketika sudah menjadi
pejabat, termasuk Menteri sekalipun, lantas anda bisa menganggap-semua langkah
dan ucapan anda selalu benar.
Ibu-ibu rumah tangga juga sudah banyak yang
kritis. Mereka lebih respek kepada Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti dan
Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Mereka tidak pernah menyalahkan Susi, sekalipun
harga ikan naik, Mengapa? Karena kekurangannya terkompensasi oleh sikap Menteri
Susi yang berani menenggelamkan kapal asing yang mencuri ikan.
Demikian halnya terhadap Menteri Keuangan Sri
Mulyani. Uang belanja makin sulit. Tapi, Karena dia berani memutuskan hubungan
kerja pemerintah Indonesia dengan JP Morgan, konsultan keuangan terkemuka asal
Amerika, maka ibu Sri di mata ibu-ibu seorang wanita yang punya nyali.
Kedua menteri perempuan itu dipuji, karena
keberanian bertindak. Sekaligus dianggap mereka lebih bertanggung jawab dari
beberapa menteri lelaki yang dalam kabinet Jokowi.
Dari kasus Menteri Enggar ini, secara tidak
langsung terungkap, ketidakpuasan atas kinerja pemerintahan Jokowi-JK, paling
tidak di kalangan ibu-ibu rumah tangga, cukup serius.
Sementara pernyataan Menteri Enggar semakin memicu
sinisme bahwa para Pembantu Presiden tidak semuanya menghayati apa yang
dirasakan oleh rakyat kecil.
Ironisnya, Presiden sebagai "user' tak bisa
lepas dari kritikan juga. Mengapa? Karena Presiden mengangkat Menteri yang
katanya hampir semuanya titipan.
Dalam kasus Menteri Enggar termasuk Surya Paloh
sebagai Ketua Umum Partai Nasdem yang merekomendasikannya, pun ikut dikritik.
Semoga Enggar hanya keseleo lidah. Karena lidah
memang gampang berucap dan sulit dikontrol. [rm]