Sangat Disayangkan, inilah Dua Dampak Jangka Panjang Kasus Penistaan Agama Yang Menjerat Ahok


[tajukindonesia.net] Reputasi Indonesia sebagai negara dengan toleransi yang tinggi seketika dipertanyakan setelah munculnya gelombang protes dari kelompok Islam yang menuding Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok melakukan penistaan agama baru-baru iniPadahal sebelumnya, publik dunia pernah dibuat berdecak kagum ketika Joko Widodo dan Ahok dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 lalu. Pada saat itu, Indonesia semakin erat dicitrakan sebagai negara bertoleransi tinggi 


Mengingat, Ahok dengan identitasnya sebagai etnis Tionghoa dan beragama kristen dapat terpilih sebagai kepala daerah di negara dengan mayoritas Muslim. Terlebih lagi yang ia pimpin adalah wilayah ibukota yang merupakan "wajah" dari Indonesia. 

Dalam sebuah artiket di The Economist akhir bulan lalu yang berjudul "Crying Blashemy In Jakarta, The Persecution of a Christian Mayor In Indonesia" dijelaskan bahwa dari segi karakter, Ahok memang cenderung tampak sombong, tidak sabar dan kasar serta menabrak etika sopan-santun yang lekat dengan budaya Jawa. Namun di sisi lain jangan dilupakan bahwa kinerja Ahok sebagai Wakil Gubernur, dan kini sebagai Gubernur DKI Jakarta cukup efektif dalam menangani kemacetan, pengendalian banjir dan kesehatan.

Dalam suatu kesempatan pertemuan dengan para nelayan di Kepulauan Seribu, September tahun lalu, Ahok sempat mengatakan kepada para nelayan bahwa ia memahami mengapa mereka tidak memilihnya (Ahok) karena dibohongi pakai surat Al-Maidah. 

Sekelompok umat Islam menafsirkan berbeda pernyataan Ahok itu dan menilainya telah menistakan agama serta menyebut Ahok kafir. Ratusan ribu demonstran pun turun ke jalanan utama ibukota pada 4 November lalu.

Puncaknya terjadi pada aksi 2 Desember di mana raturan ribu, beberapa bahkan menyebut jumlahnya jutaan, orang kembali turun ke jalanan ibukota dan menggelar sholat Jumat berjamaah dengan berpusat di monumen Nasional. Pada momen itu Joko Widodo sebagai presiden ikut hadir untuk menenangkan massa.

Hal tersebut disayangkan karena seperti tertulis artikel itu, Ahok memang tidak bijaksana di satu sisi, tapi jika memang Ahok yang bersalah dan melakukan kejahatan, sulit untuk melihat siapa yang menjadi korbannya.

"Jokowi enggan untuk melihat mantan pasangannya dituntut, namun pada akhirnya tampak melunak," begitu bunyi artikel tersebut.

Di pihak kepolisian juga terbagi soal apakah Ahok akan diadili atau tidak, Sedangkan Organisasi islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama lebih banyak bungkam soal masalah ini. 

Sehingga yang tersisa adalah kelompok garis keras yang membuka jalan, dengan FPI di garda terdepan. Melalu media sosial,mereka membuat kamapnye dengan etnis Tionghoa sebagai sasarannya. 
Anggota-anggota FPI menyebar ke sejumlah kampung di Jakarta seperti Pasar Ikan dan area rawan banjir dekat pelabuhan Tua yang beberapa waktu sebelumnya telah dibersihkan oleh Ahok.
 
Namun The Economist mengingatkan bahwa banyak dari merkea yang menghadiri aksi 2 Desember tidak peduli soal minoritas ataupun hukum Islam.

Banyak dari mereka yang menghadiri sholat Jumat berjamaah 2 Desember menganggap bahwa tindakannya itu adalah sebuah kebanggaan semata. 

Di kalangan warga Pasar Ikan yang berpartisipasi dalam aksi, mengklaim bahwa masalah mereka dengan Ahok bukan karena ia adalah etnis Tionghoa atau karena tudingan penistaan agama, tetapi hanya karena sebagai pengobat perasaan mereka.

"Jika FPI berharap lahan yang subur, mereka harus mencari di tempat lain," tambah artikel tersebut.

Lebih lanjut, The Economist memperingatkan bahwa kasus Ahok ini walau bagaimanapun akan berbuntut panjang. Ada dua alasan untuk hal itu. Pertama, walau bagaimanapun, pesaing Ahok dalam Pilkada DKI saat ini mendapatkan keuntungan. 

Pertarungan di Pilkada DKI kali ini akan menjadi proxy bagi pemilu presiden 2019 mendatang. Pada momen di mana popularitas Jokowi tinggi, satu-satunya harapan adalah untuk menyangkal keterkaitannya dengan mantan wakil gubernurnya itu.

Kedua, dan ini lebih harus lebih disoroti, karena kemungkinan adanya politisi yang memanfaatkan masalah Ahok ini untuk kepentingan politik dan intrik para Jenderal.

"FPI sendiri adalah ciptaan pasukan keamanan setelah kediktatoran Suharto berakhir, untuk melawan mahasiswa sayap kiri," kata artikel The Economist itu. 

"Hari ini tetap berguna bagi tentara untuk mendukung FPI sebagai cara untuk menegaskan kembali pengaruh domestik yang hilang setelah reformasi 1998," kata artikel itu.

"Banyak Jenderal, seperti FPI, melihat musuh di mana-mana termasuk etnis Tionghoa indonesia yang mengedalikan bisnis yang sukes, beberapa dari mereka dekat dengan ahok," masih kata artikel yang sama. 

Sementara itu, Panglima TNI Gatot Nurmantyo memandang China sebagai kekuatan bermusuhan yang melancarkan "proxy war" dengan tujuan untuk merusak pemuda Indonesia.

Ia pun menuduh China telah merebut kepemimpinan ekonomi Indonesia. The Economis menyebut bahwa Jokowi telah mendorong banyak investasi China di bidang infrastruktur. 

Dalam konteks ini ada sindiran yang berkembang dan menyebut bahwa Ahok adalah seperti kolumnis kelima China yang mengganggu. The Economist mengingatkan bahwa di balik kerusuhan berdarah kepada etnis Tionghoa tahun 1998 dan gerakan anti-Tinghoa 1956 ada sebagian tentara yang berperan. 

Pada akhir artikel tersebut, The Economist menyebut bahwa kasus Ahok ini adlaah pukulan bagi hak-hak semua minoritas di Indonesia, seperti Ahmadiyah Indonesia, Kristen dan orang gay. Resiko paling buruk adalah pertumpahan darah komunal seperti yang terjadi dua dekake lalu. 

The Economist menekankan bahwa Indonesia harus lebih berhati-hati dalam menjaga reputasi toleransi yang telah dibangun dengan susah payah.[rm]






Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :