Pemerintah Harus Selesaikan Polemik Jaminan Kesehatan Bagi Warga di Daerah
[tajukindonesia.net] - Benturan antara program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih berlangsung hingga kini.
Polemik berkepanjangan atas mampu atau tidaknya Pemerintah Daerah meng-cover warganya dalam penyelenggaraan Jamkesda ataukah harus semua ditanggung melalui JKN?
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyampaikan, sebagai contoh, maraknya pemberitaan belakangan ini mengenai keluarnya Jamkesda Kabupaten Gowa dari program JKN alias Jamkesda Kabupaten Gowa tidak mau dihubung-hubungkan dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Pemerintah Pusat.
Timboel mengatakan, dengan keluarnya Jamkesda Kabupaten Gowa dari JKN, Bupati Gowa sudah menyampaikan bahwa langkah itu dilakukan sebagai bagian dari efisiensi anggaran, sehingga Pemerintah Kabupaten Gowa memutuskan untuk mengelola Jamkesdanya secara mandiri.
"Ini artinya, sebanyak 119 ribu warga miskin di Kabupaten Gowa tidak lagi ditanggung BPJS Kesehatan. Sebagai informasi, sebelum melakukan pemutusan Jamkesda Gowa dari BPJS Kesehatan, Bupati Gowa ini telah melakukan Judicial Review (JR) Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 ttg BPJS ke Mahkamah Konstitusi, yang hingga saat ini masih berproses di MK. Inti dari judicial review-nya adalah menghilangkan kewajiban Jamkesda terintegrasi ke BPJS Kesehatan,” ungkap dia di Jakarta, Jumat (6/1).
Penolakan Bupati Gowa untuk mengikuti Program JKN, menurut Timboel, sebenarnya karena alasan anggaran saja. Bupati Gowa menyatakan bila ikut JKN maka iuran untuk 119 ribu warga miskin Gowa selama setahun sebesar Rp 26 Milyar (sebenarnya bukan Rp 26 miliar tapi Rp 32.8 miliar = 119.000 x 12 bulan x Rp. 23.000) namun anggaran yang ada di APBD 2017 hanya Rp 17 milyar saja.
"Pak Bupati yakin dengan anggaran Rp17 miliar tersebut akan mampu menjamin kesehatan 119 ribu warga miskin Gowa,” ujar dia.
Masalah hitung-hitungan anggaran yang menyebabkan beberapa daerah tidak mengintegrasikan Jamkesdanya ke JKN juga dialami oleh beberapa daerah lainnya, seperti di Bali. Namun setelah Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat nomor 440/3890/SJ tertanggal 19 Oktober 2016 perihal Dukungan Pemda pada Program JKN yang ditujukan ke seluruh Walikota Bupati, dimana salah satu isinya adalah meminta Walikota Bupati segera mengintegrasikan Jamkesdanya ke JKN, Pemda Bali dan beberapa daerah lainnya langsung mengintegrasikan Jamkesda-nya ke JKN di tahun 2017 ini.
"Ya, tentunya penolakan mengintegrasikan Jamkesda ke JKN bukan hanya karena alasan anggaran semata. Upaya melakukan korupsi anggaran Jamkesda juga ditengarai menjadi alasan kenapa Jamkesda dikelola sendiri oleh Pemda. Dengan pengelolaan Jamkesda secara langsung oleh Pemda maka peluang terjadinya korupsi anggaran relatif terbuka,” ujar Timboel.
Hal ini dimungkinkan terjadi karena Pemda cq. Dinas Kesehatan yang langsung berhubungan dalam proses pembayaran ke Rumah Sakit di daerah, baik RSUD maupun RS swasta.
"Tapi kita coba fokus pada masalah anggaran saja dulu. Memang kemampuan anggaran tiap kabupaten dan kota berbeda. PAD (Pendapatan Asli Daerah) tiap kabupaten kota kan tidak sama, jadi ada daerah yang mampu dan ada juga daerah yang belum mampu menyediakan anggaran untuk meng-cover rakyat miskinnya ke JKN,” ujar Timboel.
Tetapi, lanjut dia, seharusnya masalah anggaran iuran Jamkesda ke BPJS Kesehatan tidak menjadi masalah, bila para Walikota dan atau Bupati memiliki kemauan politik untuk ikut menyukseskan Program JKN.
Timboel
menjelaskan, bila ada suatu kabupaten/kota tidak mempunyai anggaran
cukup untuk ikut JKN, maka ada tiga cara yang bisa dilakukan para
Walikota/Bupati agar daerahnya tetap bisa ikut JKN, yakni, pertama,
Bupati/Walikota yang menilai tidak memiliki anggaran cukup untuk
mengikutsertakan Jamkesdanya ke JKN, karena jumlah orang yang ditanggung
cukup besar, maka sebaiknya Bupati Walikota tersebut memerintahkan
Dinas Sosialnya menyisir kembali (meng-up date data) keberadaan
orang-orang yang selama ini di-cover Jamkesda.
"Bila memang sudah bekerja sebagai pekerja formal atau kehidupannya sudah cukup baik atau tidak miskin lagi maka orang-orang tersebut bisa dikeluarkan dari kepesertaan Jamkesda, sehingga jumlah orang miskin yang ditanggung APBD tidak terlalu besar lagi. Hal ini tentunya akan berkorelasi dengan penurunan jumlah iuran JKN yang dibayarkan Pemda nantinya,” ujar Timboel.
Kedua, para Bupati/Walikota harus jujur ke Kementerian Keuangan dan Kemendagri terkait alokasi minimal 10 persen APBD untuk kesehatan seperti yang diamanatkan Undang Undang Nomor 36 tahun 2009.
Bila alokasi minimal 10 persen APBD untuk kesehatan sudah terpenuhi, namun belum cukup untuk membayar iuran Jamkesdanya ke BPJS Kesehatan, maka seharusnya Kemenkeu bisa menambah alokasi DAU/DAK untuk daerah tersebut.
Tapi, bila memang Bupati/Walikota menyatakan tidak punya cukup anggaran tetapi alokasi APBD untuk kesehatan masih di bawah 10 persen maka Mendagri harus memberi sanksi kepada Bupati/Walikota tersebut, karena sudah melanggar Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009.
"Mendagri harus memberikan sanksi tegas sesuai ketentuan Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ke para Bupati/Walikota yang tidak mengalokasikan minimal 10 persen APBD-nya untuk kesehatan. Bila perlu, Menkeu menyandera DAU/DAK-nya untuk tahun anggaran berjalan. Kalo sudah disandera, saya yakin kemauan politik memenuhi anggaran kesehatan akan dijalankan,” ujar Timboel.
Ketiga, bila memang anggaran APBD tidak cukup untuk meng-cover iuran jumlah orang miskin yang masuk Jamkesda ke BPJS Kesehatan, maka Walikota/Bupati tersebut bisa meminta agar selisih jumlah orang miskin yang tidak ter-cover dialihkan menjadi peserta PBI Pusat.
Nah, untuk APBN 2017 ini jumlah peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) dinaikkan 2 juta orang, jadi totalnya menjadi 94.4 juta orang, sehingga APBN mengalokasikan sebesar Rp. 26.05 Triliun untuk iuran PBI.
"Angka 94.4 juta kan bukan berarti sudah terisi semua. Itu hanya anggaran. Di tahun 2016 saja, walaupun dianggarkan 92.4 juta orang PBI tetapi yang mengisinya sekitar 91.8 juta orang. Artinya 92.4 juta tidak terisi semuanya. Saya yakin di 2017 ini pun anggaran untuk 94.4 juta orang tidak semuanya terisi, sehingga anggaran PBI bisa meng-cover rakyat miskin yang selama ini di-cover oleh Jamkesda. Ini hanya untuk memaksimalkan anggaran dalam konteks gotong royong antara pemerintah pusat dan daerah,” urainya.
Jadi, lanjut Timboel, bila Bupati Gowa memiliki anggaran di APBD 2017 sebesar Rp.17 miliar untuk Jamkesdanya, maka anggaran tersebut hanya mampu untuk membayar iuran 61.594 warga miskin Gowa (= Rp. 17 milyar : Rp. 23.000 : 12 bulan) ke BPJS Kesehatan. Kekurangan anggaran untuk membiayai 57.406 warga miskin (119.000 - 61.594 orang) ke BPJS Kesehatan bisa dialokasikan dari anggaran PBI Pusat, yaitu dengan memasukkan 57.406 warga miskin Gowa sebagai bagian dari 94.4 juta peserta PBI Pusat.
Tentunya, Timboel mengingatkan agar Kemendagri harus mencari tahu lebih jauh alasan pemutusan Jamkesda Gowa ke BPJS Kesehatan.
"Bila alasan anggaran memang benar terjadi, maka saya mendorong Pemerintah Pusat mengadopsi 57.406 warga miskin Gowa menjadi peserta PBI, sehingga Jamkesda Gowa tetap terintegrasi ke JKN. Namun bila bukan karena alasan anggaran dan APBD Gowa mampu untuk membayar iuran JKN maka Kemendagri harus berani memberikan sanksi tegas ke Bupati Gowa,” ujarnya.
Timboel menyampaikan, dirinya optimis dengan adanya sinkronisasi pendataan warga miskin Jamkesda dan peserta PBI Pusat, maka seluruh Pemda di tahun 2017 ini bisa mengintegrasikan Jamkesdanya ke BPJS Kesehatan.
"Target Universal Health Coverage (UHC) dari sisi kepesertaan di 1 Januari 2019 nanti akan lebih mudah tercapai. Kemenkeu tidak boleh kaku melihat kondisi daerah, demikian juga Bupati dan Walikota harus punya kemauan politik untuk mendukung JKN,” pungkasnya. [rmol]
"Bila memang sudah bekerja sebagai pekerja formal atau kehidupannya sudah cukup baik atau tidak miskin lagi maka orang-orang tersebut bisa dikeluarkan dari kepesertaan Jamkesda, sehingga jumlah orang miskin yang ditanggung APBD tidak terlalu besar lagi. Hal ini tentunya akan berkorelasi dengan penurunan jumlah iuran JKN yang dibayarkan Pemda nantinya,” ujar Timboel.
Kedua, para Bupati/Walikota harus jujur ke Kementerian Keuangan dan Kemendagri terkait alokasi minimal 10 persen APBD untuk kesehatan seperti yang diamanatkan Undang Undang Nomor 36 tahun 2009.
Bila alokasi minimal 10 persen APBD untuk kesehatan sudah terpenuhi, namun belum cukup untuk membayar iuran Jamkesdanya ke BPJS Kesehatan, maka seharusnya Kemenkeu bisa menambah alokasi DAU/DAK untuk daerah tersebut.
Tapi, bila memang Bupati/Walikota menyatakan tidak punya cukup anggaran tetapi alokasi APBD untuk kesehatan masih di bawah 10 persen maka Mendagri harus memberi sanksi kepada Bupati/Walikota tersebut, karena sudah melanggar Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009.
"Mendagri harus memberikan sanksi tegas sesuai ketentuan Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ke para Bupati/Walikota yang tidak mengalokasikan minimal 10 persen APBD-nya untuk kesehatan. Bila perlu, Menkeu menyandera DAU/DAK-nya untuk tahun anggaran berjalan. Kalo sudah disandera, saya yakin kemauan politik memenuhi anggaran kesehatan akan dijalankan,” ujar Timboel.
Ketiga, bila memang anggaran APBD tidak cukup untuk meng-cover iuran jumlah orang miskin yang masuk Jamkesda ke BPJS Kesehatan, maka Walikota/Bupati tersebut bisa meminta agar selisih jumlah orang miskin yang tidak ter-cover dialihkan menjadi peserta PBI Pusat.
Nah, untuk APBN 2017 ini jumlah peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) dinaikkan 2 juta orang, jadi totalnya menjadi 94.4 juta orang, sehingga APBN mengalokasikan sebesar Rp. 26.05 Triliun untuk iuran PBI.
"Angka 94.4 juta kan bukan berarti sudah terisi semua. Itu hanya anggaran. Di tahun 2016 saja, walaupun dianggarkan 92.4 juta orang PBI tetapi yang mengisinya sekitar 91.8 juta orang. Artinya 92.4 juta tidak terisi semuanya. Saya yakin di 2017 ini pun anggaran untuk 94.4 juta orang tidak semuanya terisi, sehingga anggaran PBI bisa meng-cover rakyat miskin yang selama ini di-cover oleh Jamkesda. Ini hanya untuk memaksimalkan anggaran dalam konteks gotong royong antara pemerintah pusat dan daerah,” urainya.
Jadi, lanjut Timboel, bila Bupati Gowa memiliki anggaran di APBD 2017 sebesar Rp.17 miliar untuk Jamkesdanya, maka anggaran tersebut hanya mampu untuk membayar iuran 61.594 warga miskin Gowa (= Rp. 17 milyar : Rp. 23.000 : 12 bulan) ke BPJS Kesehatan. Kekurangan anggaran untuk membiayai 57.406 warga miskin (119.000 - 61.594 orang) ke BPJS Kesehatan bisa dialokasikan dari anggaran PBI Pusat, yaitu dengan memasukkan 57.406 warga miskin Gowa sebagai bagian dari 94.4 juta peserta PBI Pusat.
Tentunya, Timboel mengingatkan agar Kemendagri harus mencari tahu lebih jauh alasan pemutusan Jamkesda Gowa ke BPJS Kesehatan.
"Bila alasan anggaran memang benar terjadi, maka saya mendorong Pemerintah Pusat mengadopsi 57.406 warga miskin Gowa menjadi peserta PBI, sehingga Jamkesda Gowa tetap terintegrasi ke JKN. Namun bila bukan karena alasan anggaran dan APBD Gowa mampu untuk membayar iuran JKN maka Kemendagri harus berani memberikan sanksi tegas ke Bupati Gowa,” ujarnya.
Timboel menyampaikan, dirinya optimis dengan adanya sinkronisasi pendataan warga miskin Jamkesda dan peserta PBI Pusat, maka seluruh Pemda di tahun 2017 ini bisa mengintegrasikan Jamkesdanya ke BPJS Kesehatan.
"Target Universal Health Coverage (UHC) dari sisi kepesertaan di 1 Januari 2019 nanti akan lebih mudah tercapai. Kemenkeu tidak boleh kaku melihat kondisi daerah, demikian juga Bupati dan Walikota harus punya kemauan politik untuk mendukung JKN,” pungkasnya. [rmol]