KPK di 2016, Awali dan Tutup Tahun dengan OTT Kader Partai, Siapa sajakah?



[tajukindonesia.net] Agus Rahardjo memulai langkahnya sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 21 Desember 2015. Menjadi yang pertama sebagai Ketua KPK tanpa latar belakang pendidikan tinggi formal hukum membuat Agus tidak gentar.

Belum sampai sebulan menjabat, Agus 'menembakkan senjata utama KPK' yaitu operasi tangkap tangan (OTT). Sasarannya mengarah ke Senayan, rumah wakil rakyat.

Damayanti Wisnu Putranti, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menjadi targetnya. KPK mencokoknya pada 13 Januari 2016 sekaligus menyambung 'tradisi' bahwa masih ada uang haram berseliweran di Senayan.

Damayanti tidak sendiri. Uang yang diterimanya yang berkaitan dengan proyek ijon infrastruktur pada anggaran di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) rupanya mengalir pula ke anggota dewan lainnya. Penyidik KPK pun menciumnya dan politikus Partai Golongan Karya (Golkar), Budi Supriyanto, harus berseragam rompi oranye khas tahanan KPK.

Menyusul kemudian, politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Andi Taufan Tiro yang dijerat KPK dengan pasal penerimaan suap. Ketiganya menambah panjang daftar tersangka KPK dari unsur legislatif. Bahkan kemungkinan besar daftar itu akan kembali bertambah apabila menilik pernyataan juru bicara teranyar KPK Febri Diansyah yang menyebut penyidik KPK masih terus menelusuri aliran uang terkait kasus itu. Nama politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Yudi Widiana pun beberapa kali dipanggil untuk memberikan kesaksian.

"Penyidik masih mendalami relasi pernyataan tersebut dengan perkara yang sedang ditangani dan beberapa hal dipertanyakan tentu saja kepada saksi terutama terkait indikasi suap yang terjadi dalam kasus PUPR itu," sebut Febri.

Saking banyaknya nama anggota dewan yang menjadi incaran KPK, sampai-sampai Ade Komaruddin, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berkeinginan untuk membuat sistem untuk memperkecil peluang anggota dewan 'bermain mata' dan akhirnya ditangkap KPK.

"Kami sedang berupaya secara sistemik dari sistem yang ada supaya tidak berikan peluang kepada anggota dewan melakukan tindak pidana korupsi," kata pria yang karib disapa Akom pada Rabu (2/3).

Namun siapa nyana, KPK malah lebih dalam menancapkan taringnya di Kompleks Parlemen. Hanya saja kali ini incaran KPK agar bergeser yaitu dari DPR ke DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Tidak tanggung-tanggung, pucuk pimpinan DPD langsung yang dicokok KPK."Penyidik masih mendalami relasi pernyataan tersebut dengan perkara yang sedang ditangani dan beberapa hal dipertanyakan tentu saja kepada saksi terutama terkait indikasi suap yang terjadi dalam kasus PUPR itu," sebut Febri.
Saking banyaknya nama anggota dewan yang menjadi incaran KPK, sampai-sampai Ade Komaruddin, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berkeinginan untuk membuat sistem untuk memperkecil peluang anggota dewan 'bermain mata' dan akhirnya ditangkap KPK.

"Kami sedang berupaya secara sistemik dari sistem yang ada supaya tidak berikan peluang kepada anggota dewan melakukan tindak pidana korupsi," kata pria yang karib disapa Akom pada Rabu (2/3).

Namun siapa nyana, KPK malah lebih dalam menancapkan taringnya di Kompleks Parlemen. Hanya saja kali ini incaran KPK agar bergeser yaitu dari DPR ke DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Tidak tanggung-tanggung, pucuk pimpinan DPD langsung yang dicokok KPK.

Adalah Irman Gusman selaku Ketua DPD yang disebut KPK menerima suap dengan cara memperdagangkan pengaruhnya sebagai anggota dewan. Irman dijemput KPK dari rumahnya pada 17 September.

Akibat terbelit kasus itu, Irman pun dicopot dari jabatannya. Uang Rp 100 juta diamankan dari rumah Irman sebagai uang suap dari pengusaha distribusi gula di Sumatera Barat, daerah pemilihan Irman.

Penetapan tersangka terhadap Irman ini menjadi catatan buruk bagi anggota dewan. Dalam sidang praperadilan yang diajukan Irman di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), KPK pun menyebut tindakan Irman sebagai ironi.

"Alangkah ironinya apabila pejabat yang mestinya bertanggung jawab untuk menampung dan menindaklanjuti aspirasi atau pengaduan masyarakat malah melakukan tindakan korupsi dengan dalih bahwa tindakannya tersebut untuk kepentingan masyarakat," kata staf Biro Hukum KPK Indra Mantong Batti dalam persidangan praperadilan, Rabu (10/10).

Waktu berlalu dan KPK rupanya masih mencium indikasi korupsi dari berbagai daerah. Kader-kader partai yang menjadi kepala daerah ternyata tak takut dan masih bermain mata dengan berbagai banyak pihak.

Setidaknya ada 4 kepala daerah yang harus mencicipi bui KPK. Keempatnya yaitu Ojang Sohandi, Yan Anton Ferdian, Atty Suharti, dan terakhir Sri Hartini.

Ojang yang merupakan Bupati Subang ditangkap pada 11 April, lalu Yan Anton yang menjabat sebagai Bupati Banyuasin dicokok pada 4 September, lalu Atty Suharti yang menjadi Wali Kota Cimahi ditangkap pada 2 Desember dan terakhir pada 30 Desember, KPK menangkap Bupati Klaten Sri Hartini.

Keempat kepala daerah itu pun merupakan kader partai. Ojang merupakan kader PDIP, Yan Anton berasal dari Golkar, pun dengan Atty. Dan nama terakhir Sri berasal dari PDIP.

Dengan ditangkapnya Sri, maka tercatat OTT KPK pada tahun 2016 ini diawali dengan penangkapan kader partai dan diakhiri dengan kader partai.

"OTT akhir tahun. Apresiasi saya untuk anak-anak (penyidik KPK) di lapangan yang tidak kenal lelah, tidak mengenal libur," kata Agus ketika dikonfirmasi soal penangkapan Sri. [dnws]








Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :