Dijanjikan Mendapat Bantuan Sosial, Warga Korban Penggusuran Ngaku Makin Tambah Susah


[tajukindonesia.net]       -       Kondisi warga miskin di Jakarta yang menjadi korban penggusuran kini malah tambah sulit. Sejak dipindahkan ke rumah susun (rusun), kesejahteraan mereka tak kun­jung terangkat. Padahal Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta selalu menjanjikan peningkatan kesejahter­aan bagi warga miskin yang mau direlokasi ke rusun.

Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alldo Fellix Januardy mema­parkan, pihaknya melakukan survei terhadap warga korban penggusuran Pemprov DKI Jakarta yang kini tinggal di rusun. Hasilnya, kondisi korban penggusuran sejak era Gubernur Sutiyoso hingga Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ternyata se­makin tidak sejahtera.

"Warga korban penggusuran paksa yang dipindahkan ke rumah susun justru kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan banyak terpaksa menunggak biaya sewa," ka­tanya di Kantor LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta.

Padahal rusun selalu dikam­panyekan sebagai solusi utama bagi korban penggusuran sejak era Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso hingga Ahok. Pemprov selalu berjanji, warga yang dipindah ke rusun bakal lebih sejahtera karena akan memperoleh banyak bantuan jaminan sosial dari pemerintah. "Namun realitanya janji-janji itu tidak terpenuhi," imbuhnya.

Survei dilakukan di 18 rumah susun yang ada di Jakarta dalam kurun waktu tujuh bulan dan melibatkan 250 orang penghuni rusun. Hasilnya, pengeluaran warga meningkat drastis dan kondisi ekonomi mereka semakin sulit sejak tinggal di rusun. Tak hanya itu, ternyata 59,8 persen warga rusun tidak memi­liki Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar.

Sebanyak 66,7 persen warga mengaku hanya membayar Rp 0 hingga Rp 100 ribu per bulan untuk biaya sewa atau perawatan rumah sebelum digusur. Namun setelah tinggal di rusun, 95 pers­en warga mengalami peningka­tan pengeluaran sewa hingga Rp 100 ribu �" Rp 300 ribu.

Biaya lain seperti biaya kon­sumsi, biaya tagihan air, biaya tagihan listrik, dan biaya trans­portasi publik juga mengalami peningkatan. "Sebanyak 45,8 persen warga mengatakan set­iap bulan pengeluaran mereka bertambah minimal Rp 300 ribu setelah mereka tinggal di Rusun," kata Alldo.

Tingkat pengangguran pun semakin meningkat sejak warga miskin dipindah ke rusun. "Kami menemukan terjadi peningkatan pengangguran dari 8,2 persen ketika menghuni rumah lama menjadi 13,5 persen warga men­ghuni rusun," sebutnya.

Diterangkan Alldo, berdasar­kan Komentar Umum Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (ICESCR) nomor 4 tahun 1991 tentang Perumahan yang Layak dan Komentar Umum nomor 7 ta­hun 1997 tentang Penggusuran Paksa, perumahan yang layak ditentukan dari faktor sosial, ekonomi, budaya, iklim, ekolo­gi, dan faktor-faktor lain.

"Intinya memberikan akses buat warganya, layak infrastruk­tur, dan kelayakan budaya," tandasnya.

Sebelumnya, Plt Gubernur DKI Jakarta, Soni Sumarsono, menga­takan mulai tahun 2017, pemprov menargetkan pembangunan ru­mah susun (rusun) hingga 11.050 unit dengan total anggaran men­capai Rp 5 triliun.

"Sekarang pertanyaaannya sederhana. Ketika membangun Jakarta baru apa yang kita butuh­kan, penataan wilayah, penataan kota," katanya di Balai Kota, Selasa (20/12).

Ditekankan Soni, tidak mung­kin proyek penataan kota dilaku­kan tanpa melakukan relokasi terhadap rumah warga yang berdiri di bantaran kali atau ruang terbuka hijau (RTH). "Itu kalau kita ingin melakukan kebijakan-kebijakan yang manusiawi. Kita siapkan dulu rusunnya sebelum penggusuran. Itu saja logikanya. Kita punya target jumlahnya 11.050 sekian untuk unit," ujarnya.

Dengan alasan tersebut, Soni menilai tidak ada alasan untuk menunda pembangunan rusun di Jakarta. "Jadilah itu esensinya, saat ini kita butuh dua hal yang penting di jakarta, salah satunya pengadaan lahan untuk rumah susun dan RTH tentunya," im­buhnya.(rmol)










Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :