Pro Dan Kontra Dari Pemberlakuan Revisi UU ITE Jadi Trending Topic
[tajukindonesia.net] - Pro dan kontra mewarnai diberlakukannya revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang resmi berlaku hari ini. Di timeline Twitter misalnya, sejak pagi dipenuhi berbagai tanggapan mengenai isu ini.
UU ITE bertengger di deretan atas trending topic Indonesia. Tercatat ada lebih dari 6 ribu tweet terkait UU ITE dan dipastikan masih akan terus bertambah. Ada yang mendukung, banyak pula yang tidak setuju.
"Hari ini diberlakukan revisi UU ITE. Dilarang mmbuat & mnyebar info brsifat tuduhan/fitnah/SARA yg undang kebencian," tulis composer Addi MS melalui akun @addiems.
"Jika kita paham bahwa media sosial itu ruang publik, bukan ruang privat, santai saja dgn UU ITE ini," kata pengamat media sosial Nukman Luthfie melalui akun Twitter @nukman.
"Ada ketimpangan, mereka yang baik-baik saja dan berlaku aman ketika menggunakan medsos malah menjadi KORBAN UU ITE. Misal status no mentions," demikian pendapat @InsideErick
"Mau Demo dihalang2i. Narik uang dr bank ditakut2i penjara. Berpendapat diancam UU ITE. Situs Berita dibredel. WELCOME TO THE TIRAN !!," sebut pengguna Twitter dengan nama akun @dusrimulya.
Beberapa ada juga yang menanggapinya dengan candaan. "Yang bilang gendut padahal upload fotonya kurus harus kena UU ITE," sebut akun @keribakeribo.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang belum lama ini direvisi, berlaku mulai hari ini, Senin (28/11/2016).
Revisi tersebut resmi berlaku usai melewati 30 hari sejak disahkan menjadi UU pada 27 Oktober 2016. Ada beberapa perubahan di UU ITE yang
baru yaitu sebagai berikut:
1. Untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3), dilakukan 3 (tiga) perubahan sebagai berikut:
a. Menambahkan penjelasan atas istilah "mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik".
b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum.
c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.
2. Menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:
a. Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diturunkan dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (tahun) dan/atau denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
b. Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun menjadi paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
3. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:
a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang.
b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.
4. Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:
a. Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
b. Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1x24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
5. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):
a. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi;
b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.
6. Menambahkan ketentuan mengenai "right to be forgotten" atau "hak untuk dilupakan" pada ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:
a. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
b. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.
7. Memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:
a. Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang;
b. Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum. (dtk)