Panas! Korban Penggusuran Gugat Pemprov Jakarta Ke MK


[tajukindonesia.com]      -      Sejumlah korban penggusuran di Jakarta menggugat aturan larangan penggunaan tanah tanpa izin yang ber­hak lewat uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Aturan yang digugat adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 51 tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Para korban ini adalah Rojiyanto, Mansur Daud, dan Rando Tanadi.

Melalui kuasa hukumnya, mereka memohon pengujian Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1) butir a, butir b, butir c, dan butir d, serta Pasal 6 ayat (2) Perppu tersebut.

Para korban penggusuran merasa sangat dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal terse­but lantaran tidak mendapat ganti rugi saat rumahnya digusur paksa oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta.

Kuasa hukum pemohon, Alldo Fellix Januardy mengatakan, pihaknya mengajukan gugatan ke MK karena Perppu tersebut melanggar hak-hak konstitu­sional, terutama korban peng­gusuran.

Diterangkannya, Pasal 2, Pasal 3 (1), (2), Pasal 4 melarang me­makai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasa yang sah. Sementara, penguasa daerah berhak mengambil tindakan penyelesaian pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak yang ada di daerahnya dengan memperhatikan rencana peruntukkan dan penggunaan tanah termasuk perintah pengo­songan tanah.
"Aturan ini sudah tidak rel­evan lagi karena diterbitkan dalam situasi negara dalam keadaan bahaya pada tahun 1960," ujarnya di Jakarta.

Menurut Alldo, Perppu No 51 tahun 1960 hanya dapat diterapkan pada negara dalam keadaan bahaya, bukan dalam situasi damai untuk melakukan penggusuran paksa terhadap warga negara.

Lagi pula, beleid ini juga tidak sesuai lagi dengan kovenan internasional hak ekonomi sosial dan budaya yang sudah di­ratifikasi berdasarkan UU No 11 Tahun 2005. "Undang-undang ini seolah-olah memberikan wewenang pemerintah daerah untuk 'menyerobot' kewenangan peradilan karena setiap sengketa tanah seperti ini tidak melalui lembaga yudikatif terlebih da­hulu, tetapi faktanya langsung dieksekusi oleh Pemprov," tu­turnya.

Dalam penelitian terhadap kasus-kasus penggusuran paksa, pemerintah kerap melibatkan aparat militer dan rawan disertai tindakan intimidasi dan kekeras­an terhadap warga negara korban penggusuran paksa. Kalaupun ada proses relokasi, tetapi aturan ini mengabaikan prosedur re­lokasi warga negara berlandas­kan prinsip-prinsip HAM.

"Ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945," kata Alldo.

Menurutnya, kepemilikan tanah oleh para pemohon yang sudah mendayagunakan tanah tersebut dalam jangka waktu lama, sebenarnya dilindungi beberapa pasal dalam UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Salah satunya pasalnya disebutkan penelantaran tanah (oleh negara) dapat mengakibat­kan hapusnya kepemilikan.

Sementara itu, dalam per­sidangan di MK, hakim konsti­tusi Maria Farida Indrati meng­ingatkan Perppu no. 51 tahun 1960 yang diuji sudah menjadi UU no. 1 tahun 1961 tentang Penetapan Semua UU Darurat dan Semua Perppu yang sudah ada sebelum tanggal 1 Januari 1961 menjadi UU.

"Jadi, langsung saja pemohon menyebut UU nomor sekian dan tentang ini karena Perpunya su­dah ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961," ujar Maria.  [rmol]











Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :