Bahaya! Perekonomian Indonesia Alami Stagnasi Serius Semasa Jokowi - JK..
[tajukindonesia.com] - Politikus Gerindra, Heri Gunawan, mengatakan pada dua tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK), ekonomi yang berkeadilan bagi rakyat belum tampak. Perekonomian pun tak menunjukkan tanda-tanda adanya peningkatan.
"Perekonomian Indonesia, sejak dipimpin Joko Widodo dan Jusuf Kalla, mengalami stagnasi serius. Bahkan, perekonomian cenderung menurun. Indikatornya, pada 2014 lalu, ekonomi tumbuh 5,02 persen. Pada 2015, pertumbuhan ekonomi turun menjadi 4,8 persen," ungkap Heri yang juga menjabat sebagai Anggota Komisi Keuangan DPR RI ini, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (19/10).
Menurut Heri, stagnasi tersebut berdampak pada meningkatnya angka pengangguran, yakni hingga mencapai 6,81 persen. Inflasi juga meningkat sebesar 5,73 persen. Cadangan devisa pun terus tergerus oleh utang. Pada Oktober 2014, utang pemerintah hanya Rp 2.600 triliun. Per Mei 2016, utang sudah melonjak menjadi Rp 3.320 triliun.
Padahal, cadangan devisa pada Mei lalu hanya sebesar US$ 103,56 miliar atau cukup untuk membiayai 7,9 bulan impor atau 7,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
“Ini bisa dikualifikasikan sebagai posisi kritis di tengah nilai ekspor yang menurun dan tuntutan pembayaran utang plus bunga utang yang membengkak,” tegas Heri.
Tak hanya itu, Heri menambahkan, nilai tukar petani ikut turun dari indeks 102,87 pada 2014 menjadi 101,64 pada 2016. Menurutnya, hal itu menandakan bahwa kualitas kehidupan dan kesejahteraan petani belum terjamin secara maksimal. "Inilah sisi minus perekonomian nasional selama dua tahun pemerintahan berjalan di bawah Presiden Joko Widodo," tukas Heri. [tajukindonesia.com]
Menurut Heri, stagnasi tersebut berdampak pada meningkatnya angka pengangguran, yakni hingga mencapai 6,81 persen. Inflasi juga meningkat sebesar 5,73 persen. Cadangan devisa pun terus tergerus oleh utang. Pada Oktober 2014, utang pemerintah hanya Rp 2.600 triliun. Per Mei 2016, utang sudah melonjak menjadi Rp 3.320 triliun.
Padahal, cadangan devisa pada Mei lalu hanya sebesar US$ 103,56 miliar atau cukup untuk membiayai 7,9 bulan impor atau 7,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
“Ini bisa dikualifikasikan sebagai posisi kritis di tengah nilai ekspor yang menurun dan tuntutan pembayaran utang plus bunga utang yang membengkak,” tegas Heri.
Tak hanya itu, Heri menambahkan, nilai tukar petani ikut turun dari indeks 102,87 pada 2014 menjadi 101,64 pada 2016. Menurutnya, hal itu menandakan bahwa kualitas kehidupan dan kesejahteraan petani belum terjamin secara maksimal. "Inilah sisi minus perekonomian nasional selama dua tahun pemerintahan berjalan di bawah Presiden Joko Widodo," tukas Heri. [tajukindonesia.com]