Jokowi Dinilai Tak Tepati Janji Terkait Dengan Pelaksanaan Reformasi Agraria
[tajukindonesia.com] - Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dinilai ingkar terhadap janji politiknya saat kampanye pemilihan presiden 2014 silam terkait dengan pelaksanaan reformasi agraria. Salah satunya adalah menyediakan tanah dan program pendukung lainnya untuk kaum petani.
"Hingga kini nasib kaum tani tak kunjung membaik. Kemiskinan di pedesaan semakin luas karena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin tajam," ujar Koordinator Umum Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), Dewi Kartika, dalam keterangan tertulis yang diterima Rimanews, hari ini.
Dewi menjelaskan, pemerintahan Jokowi-JK memulai pemerintahannya dengan menjanjikan pelaksanaan reforma agraria melalui Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, yang diterjemahkan ke dalam dua skema, yakni, redistribusi tanah dan legalisasi aset dengan target 9 juta hektar bagi petani.
"Skema ini sesungguhnya melanjutkan praktik dari rezim sebelumnya yang cenderung membuka pasar tanah (market-led land reform)," ujar Dewi.
Bahkan, lanjut Dewi, hingga dua tahun masa pemerintahan Jokowi JK berjalan, ketiadaan lembaga pelaksana reforma agraria yang dipimpin langsung oleh Presiden menunjukkan bahwa pemerintahan ini tidak memiliki kemauan menjalankan reforma agraria sejati.
"Penyimpangan ini diperparah oleh berbagai kebijakan ekonomi dan politik yang bertentangan dengan cita-cita reforma agraria," kata Dewi.
Ironisnya, kata Dewi, pemerintahan Jokowi-JK tetap melanjutkan kebijakan-kebijakan pro investasi anti rakyat, yang semakin melanggengkan persoalan ketimpangan dan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat.
"Kebijakan tersebut antara lain: kebijakan pengadaan tanah untuk kebutuhan infrastruktur, perkebunan, pertambangan, kehutanan dan reklamasi; impor pangan; paket kebijakan ekonomi jilid I-XIII; UU Tax Amnesty; dan Perpres Percepatan Pembangunan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional," beber Dewi.
Situasi itu, menurut Dewi, semakin meningkatkan eskalasi konflik agraria di berbagai sektor dan daerah yang berujung pada tindakan represif dan kriminalisasi terhadap perjuangan rakyat atas hak-haknya.
Dewi menyebutkan, konflik agraria dari 2004-2015, tercatat 1.772 kasus, dengan luasan wilayah konflik 6.942.381 hektar dengan korban 1.085.817 kepala keluarga.
"Akibat represifitas aparat (polisi/TNI/satpol PP) dan security korporasi di lapangan terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanah, tercatat petani/nelayan/masyarakat adat yang ditangkap 1.673 orang, dianiaya/luka-luka 757 orang, ditembak 149 orang dan tewas 90 orang (KPA, 2015)," ungkap Dewi.
Melihat jauhnya janji dengan realisasi di lapangan, dan menyaksikan tetap bertahannya berbagai persoalan kaum tani tanpa penyelesaian, maka KNPA menegaskan sikap dan posisinya dengan menggelar rangkaian aksi peringatan HTN di berbagai daerah, dan akan menutup rangkaian tersebut dengan aksi puncak peringatan HTN 2016 pada Hari Selasa, 27 September di depan Istana Negara, Jakarta.
"Puncak peringatan HTN di Jakarta ini akan diikuti oleh sekitar 10.000 massa, yang terdiri dari organisasi tani, buruh, nelayan, masyarakat adat, mahasiswa, perempuan, kaum miskin kota dan aktivis/NGO dari Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jakarta," pungkas Dewi.
Sebagaimana diketahui, sebagaimana ditetapkan melalui Kepres 169 tahun 1963, maka Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengamanatkan terwujudnya keadilan sosial dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pelaksanaan reforma agraria, yang program pokoknya adalah menyediakan tanah dan program pendukung lainnya untuk kaum petani. (rn)